Mohon tunggu...
Rahmatullah Elmusri
Rahmatullah Elmusri Mohon Tunggu... -

Sedang belajar dan menjadi masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

BBM Naik = Ketidakhadiran Pemerintah

18 Maret 2012   01:14 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:54 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi saya rencana pemerintah menaikan harga BBM adalah sebuah keterpaksaan keadaan dan sebuah produk kebijakan yang tidak kreatif. Jika menggunakan katayang kasar, pemerintah amatlah “Malas”, mengeluarkan kebijakan instan, tanpa mau kerepotan.
Dalam konteks bisnis, jika memang harga meningkat, maka hal yang paling mudah adalah menaikan juga harga. Hal tersebut merupakan logika paling sederhana, yang mungkin anak SD-pun paham. Namun apa jadinya sebuah negara yang memiliki banyak aparatur, praktisi, akademisi, Sumber Daya Alam, dan aneka potensi lainnya, mengeluarkan kebijakan gampangan tanpa sedikitpun inovasi, menikan harga BBM, yang tentunya dampaknya mencekik masyarakat bawah. Seolah-olah negara ini tanpa pemerintahan, yang mampu melindungi warganya.
Dalam benak saya, ada beberapa opsi yang bisa dijadikan sebagai alternatif, agar pemerintah tidak terpaku pada satu pilihan semata-mata kebijakan menaikan harga BBM:
1.Larangan mengkonsumsi bensin jenis premium bagi mobil diatas 2000 cc. Pemerintah pada dasarnya sudah menghimbau melalui spanduk-spanduk mengenai budaya malu bagi kendaraan mewah mengkonsumsi premium yang merupakan subsidi pemerintah. Namun urat malu kaum kaya di Indonesia sudah putus, lebih baik dibuat larangan dalam bentuk peraturan. Jika batasan berdasarkan CC diperlakukan maka setidaknya jelas subsidi diberikan tidak bagi yang kaya, yang salah satu indikatornya dari jenis cc kendaraan.
2.Jika kendalanya adalah produksi minyak mentah dalam negeri terbatas, dan produksi gas melimpah. Seharusnya pemerintah membangun infrastruktur SPBG di seluruh SPBU. BBG selain irit, polusi rendah, juga lebih efisien. Keberhasilan era Yusuf Kalla melakukan konfersi minyak tanah menjadi gas menuai kesuksesan walau dalam proses awalnya pro kontra, perlu dijadikan contoh keberanian dalam mengambil keputusan.
3.Jika kebijakan penggunaan BBG dilaksanakan, hal yang berikutnya dilakukan pemerintah adalah mensubsidi alih tekhnologi kendaraan dari bensin ke gas, dalam hal ini converter kit. Pemerintah mendorong industri dalam negeri untuk memproduksi konverter kit dan menjulanya dengan harga subsidi, agar mampu dibeli oleh pemilik kendaraan.
4.Terkait opsi konversi BBM ke BBG, selayaknya pemerintah membuat peraturan agar produsen kendaraan bermotor, dalam hal ini roda empat, mulai tahun tertentu misalnya 2013 harus sudah menggunakan mesin yang khusus siap berbahan bakar gas. Jika peraturan ini dibuat otomatis kendaraan-kendaraan kedepan akan berbasis mesin BBG.
5.Jangan hanya fokus pada bahan bakar berbasis fosil. Alangkah malunya jika sebuah negara dengan luas wilayah besar namun hanya berkutat pada satu jenis bahan bakar. Memang ironis, karena riset bahan bakar alternatif kurang di dukung pemerintah dan hanya terhenti pada riset. Banyak potensi bahan bakar nabati di Indonesia, namun tidak diproduksi masal dan tidak dilakukan alih tehnologi, sehingga terhenti begitu saja, mulai dari penggunaan minyak sawit, jarak, nyemplung, dll. Jika menengo brazil, basis bahan bakar mereka, mulai beralih dari fosil pada olahan etanol, semisal kotoran ternak hingga kotoran manusia, kenapa kita tidak mampu??
6.Negara perlu menjalankan fungsinya sebagai “Penyelenggara Pemerintahan”, diantaranya dengan membatasi kepemilikana kendaraan. Bukan pemerintah yang diatur produsen kendaraan, melainkan pemerintah yang mampu mengatur mereka, diantaranya dengan pembatasan pemilikan kendaraan bermotor, saking kayanya ada diantara masyarakat yang memilki kendaraan lima unit. Selain itu pemerintah harus membatasi uang muka/ DP pembelian kendaraan, agar tidak seperti jualan kacang goreng. DP kendaraan yang rendah berdampak pada multi aspek: kepadatan kendaraan menjadi pemicu kemacetan, meningkatanya angka kecelakaan,meningkatnya konsumsi BBM yang berdampak pada membengkaknya subsidi. Pemerintah sepertinya tidak menjalankan kuasanya dan membiarkan kondisi chaos di jalan raya terjadi.
7.Salah satu kunci dari aneka permasalahan diatas adalah, fasilitas transportasi publik yang amat buruk. Wajar jika pada akhirnya masyarakat memaksakan diri mengkredit kendaraan, dan mengakibatkan kepdatan akut di jalan raya, hal ini dikarenakan kondisi transportasi publik yang jauh dari nyaman. Tingginya kecelakaan kendaraan umum, pelayanan yang buruk, ketidak tepatan waktu, fasilitas penumpang yang buruk menjadikan masyarakat beralih pada kendaraan pribadi. Jika pemerintah serius menggarap fasilitas transportasi publik,dengan sendirinya masyarakat akan memanfaatkan fasilitas tersebut, yang secara otomatis akan berkurangnya konsumsi BBM dalam negeri. Namun apakah pemerintah serius dengan hal ini. Toh berkali-kali studi banding ke Jepang dilakukan terkait transportasi publik hanya menhabiskan anggaran negara, karena tidak serius produk yang di hasilkan.
Saya amat yakin, banyak alternatif lain yang bisa dilakukan pemerintah diluar satu-satunya opsi menaikan harga BBM. Jangan dikatakan “ada pemerintahan”, jika negara tidak mampu mencari jalan terbaik untuk masyarakat. Karena jika harga BBM naik maka akan berefek domino pada seluruh kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat miskin: harga kebutuhan pokok meningkat, ongkos kendaraan naik, biaya melaut dan mengolah sawah meningkat, distribusi hasil bumi meningkat. Yang pasti angka kemiskinan di tahun 2013 akan jauh meningkat.
Pemerintahan gagal adalah pemerintahan yang tidak kreatif, malas, hanya mampu menjadi pemadam kebakaran saja. Bukankah seharusnya jika berada dalam sebuah tekanan muncul aneka alternatif, dan kreatifitas, bukan malah tunduk dalam tekanan. Syngguh kasihan masyarakat, disaat kebutuhan dasarnya belum dijamin negara, harus bertambah bebannya dengan segala teror negara. Namun yakinlah masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang tangguh, adaptif, dan keratif, selalu menemukan jalan untuk bertahan dan menyambung hidup. Karena memang sudah amat lama tidak merasakan kehadiran pemerintah dalam negara ini.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun