Mohon tunggu...
Rahmatul Ummah As Saury
Rahmatul Ummah As Saury Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis dan Editor Lepas. Nge-blog di www.ru-blog.com

Ingin menikmati kebebasan yang damai dan menyejukkan, keberagaman yang indah, mendamba komunitas yang tak melulu mencari kesalahan, tapi selalu bahu membahu untuk saling menunjuki kebenaran yang sejuk dan aman untuk berteduh semua orang.. Nge-blog di www.ru-blog.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Payungi: Tentang Sepotong Pagi, Setangkup Tradisi dan Literasi

16 Oktober 2019   07:52 Diperbarui: 16 Oktober 2019   07:56 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Payungi adalah sepotong tempat yang agak tersembunyi di pinggir kota Metro. Tak lebih lima belas menit dari kantor wali kota Metro atau Taman Merdeka yang menjadi pusat kota. Kota Metro memang kecil, tak ada yang benar-benar jauh untuk di tempuh di kota ini, luas totalnya hanya 68,74 km2.

Dari pusat kota, kita bisa mencapai Payungi lewat dua jalan,  AH. Nasution atau Hasanuddin, dengan sedikit memutar ke Jl. Basuki Rahmat dan masuk jalan gang, Kedondong. Sebutan Payungi adalah akronim dari Pasar Yosomulyo Pelangi, letaknya memangnya di kelurahan Yosomulyo, area keramaian kuliner yang didekasikan untuk pedagang tradisional, tempatnya hanyalah sebuah gang yang dibentuk sedemikian rupa.

Meski begitu, Payungi menawarkan daya magnet tersendiri --selain kuliner, ada wahana permainan, pojok buku, dan taman edukasi untuk anak-- mengundang banyak orang untuk datang ke sana.

Setiap Ahad pagi, manusia dari berbagai tempat berbondong-bondong datang ke Payungi. Mungkin karena Payungu tak seperti pasar umumnya, mereka selalu datang berulang kali, mencari suasana yang memang masih lekat dengan tradisi, bukan hanya makanan yang terbuat dari bahan singkong, pisang atau hasil kebun sendiri, tetapi juga keintiman antara pedagang dan pembeli yang memang sengaja dibangun. Bahkan, konon dulu awal-awal beroperasi, transaksinya tidak menggunakan alat tukar uang, tetapi koin bambu.

Aku sebenarnya sudah lama membayangkan, menyantap gethuk sembari berbincang dengan teman-teman yang menginisiasi kehadiran pasar ini. Tetapi selalu saja gagal. Aku harus merelakan sepotong pagiku dicotok ayam, dan aku mendengkur di tempat tidur.

Konon, sejak dilaunching 28 Oktober 2018 yang lalu, Payungi sudah beromset hampir 1,5 milyar, diisi kurang lebih 40 pedagang tradisional yang berasal dari penduduk sekitar, uniknya mereka menjual makanan dengan jenis berbeda. Setiap gelaran, Ahad Pagi, Payungi selalu menghadirkan suasana dengan inovasi baru, jika saat pertama launching selain alat transaksi menggunakan koin bambu, setiap gelaran pasar selalu mengusung tema-tema tertentu, seperti batik, burung, sepeda klasik dan lain-lain.

Kini Payungi terasa lebih berwarna, bukan hanya karena tembok-tembok yang ada di sekitar Payungi dilukis dengan cat warna-warni oleh lebih pegiat mural dan lukis, melainkan karena Payungi mulai menggandeng ragam komunitas untuk terlibat. Seperti kejadian Sabtu malam (27/7/2019), terlihat banyak kesibukan, dua mobil terlihat bolak-balik mengangkut alat-alat. Aku yang kebetulan berada di sekitar lokasi Payungi malam itu, sempat mencari informasi tentang aktivitas beberapa orang yang terlihat sibuk itu.

"Sedang mempersiapkan gelaran Payungi besok, Bang. Malah katanya itu sudah sejak sore, warga malah sudah kerja bakti dari pagi," jelas Diyan yang kebetulan sedang berkunjung ke Pojok Buku.

Aku menyaksikan sebuah lorong sedang dirias dengan bambu yang dibuat melengkung menyerupai terowongan, kemudian dihias dengan kertas warna-warni, beberapa di antaranya di biarkan menjuntai. Di bagian paling belakang ada papan dan balok-balok yang ditata sedemikian rupa sehingga terlihat seperti miniatur panggung untuk konser musik, sangat artistik dan natural, berada di antara rerimbunan pohon bambu.

"Wah, sepertinya besok bakal lebih meriah. Aku akan berusaha bangun pagi dan datang ke Payungi pagi, keren kayaknya untuk ditulis," ujarku kepada mereka yang malam itu berkumpul di Pojok Buku, bagian paling depan di dekat pintu masuk Payungi.

Setelah dari gerbang paling depan yang berada depan Puskesmas Yosomulyo, pengunjung bisa berjalan kaki sekitar 300 meter dan berbelok memasuki gang sebelah musholla Sabilul Muttaqien, yang sekaligus menjadi pintu utama Payungi yang viral itu, Pasar yang didirikan 9 bulan lalu. Pasar ini tak begitu besar, namun cukup memiliki ragam wahana, bukan hanya pasar, tetapi juga ada taman edukasi anak, area panahan, lempar pisang, flyingfox,  dan ada rak-rak buku, yang menegaskan bahwa di sini juga ada geliat literasi.

Kursi sederhana dari bambu ditata berjajar merapat ke tembok, meja pedagang berukuran sedang disusun sepanjang jalan bagian belakang, ada tempat duduk mirip bangu panjang yang ada di tengah, barangkali tempat santai sembali menikmati kuliner tradisional atau menunggui anak yang sedang bermain.

Aku membayangkan pagi hari yang indah di Payungi, dengan sinar mentari yang segar menerobos celah-celah batang bambu, sembari menyisipkan sepotong gethuk yang telah ditaburi kelapa ke dalam perut. Mengambil sebuah novel, membuka dan membaca beberapa halaman. Mengisi bukan hanya perut, tapi juga memori. Mengabadikan kenangan.

Namun, lagi-lagi sepotong pagi itu lewat begitu saja. Saya gagal menyusun bayang-bayang makanan tradisional, buku dan pagi yang sejuk menjadi kenangan. Beruntunglah, karena Ahad (28/7/2019) ini, gelaran Payungi dibuka hingga malam.  

"Pasar Yosomulyo Pelangi (Payungi) menggelar kegiatan kolaborasi dengan berbagai komunitas.  Ini adalah gelaran pertama kami yang fokus pada seni dan budaya.  Selain kuliner dan wahana permainan yang menjadi ciri khas Payungi, membaur adalah kolaborasi komunitas musik, mural dan grafity,  pameran produk komunitas kota dan beberapa workshop terkait mural, desain grafis, video maker dan lainnya," terang Dharma Setyawan, Dosen IAIN Metro yang juga penggagas Payungi ketika berbincang bersama beberapa kawan, lepas Isya seraya menikmati kopi.

Malam itu suasana Payungi cukup ramai, meski tetap tak seramai pagi hari. Beberapa komunitas musik secara bergantian mentas di atas panggung, menghibur pengunjung dan beberapa pedagang, komunitas mural dan grafity juga masih bersemangat melukis ruang-ruang kosong di tembok pagar.

Pasar Yosomulyo Pelangi memang telah menjelma menjadi sepotong pagi bagi warga Metro, setangkup tradisi serta sedikit literasi. Dan, kita terkadang membutuhkan suatu waktu dan suatu tempat untuk menemukan kembali tradisi. (*)

Rahmatul Ummah, Warga Yosomulyo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun