Aku tak percaya.
Anehnya, meski aku tak percaya aku diam-diam memupuk rasa kagum dan sayangku. Dan, aku berharap kamu benar-benar menyukaiku.Â
"Aku tak bisa menjelaskan mengapa aku suka, mungkin karena nama, mungkin pula karena wajah, atau mungkin karena semuanya!" katamu di satu sore, pada saat kita terjebak gerimis hingga tak bisa pulang.
Aku sebenarnya tak peduli gerimis. Aku tak pulang, karena aku terjebak dalam perasaan tak ingin buru-buru berpisah. Dan, gerimis hadir menjadi alasan.
"Cinta itu abstrak dan metafisik. Tak mungkin bisa dijelaskan, semakin dijelaskan semakin ia tak jelas! Cinta itu soal rasa, datang tiba-tiba tanpa bisa ditolak. Aku hanya tahu, ada ruang yang terisi dengan hadirmu, ada ruang yang kosong kala kamu menjauh, ada rindu." Panjang lebar engkau menjelaskan.
Sebenarnya aku tak peduli dengan penjelasanmu. Untuk mencintaimu aku tak butuh alasan, bahkan sebenarnya aku tak peduli apakah kamu cinta atau tidak. Mencintaimu adalah kemerdekaanku, soal rasaku. Aku bebas untuk mencintaimu sebagaimana kamu bebas untuk tidak mencintaiku.Â
"Kok diam?" kamu tiba-tiba mengejutkanku.
"Aku sedang menyimak dan menunggu engkau meneruskan penjelasanmu." aku berusaha bersikap biasa.
"'Kan, sudah kukatakan tak ada yang perlu aku jelaskan soal itu."Â
Aku terdiam.
"Begini saja, lupakan soal itu. Jika kamu terganggu, aku minta maaf. Biarkan saja aku suka, tanpa harus kamu balas menyukaiku. Anggaplah serupa barat dan timur yang ditakdirkan berpasangan, tetapi tak pernah bertemu, seperti siang dan malam yang tak pernah menyatu."Lanjutmu