Kopi Lampung harus ditegaskan bukan lagi sekadar membuat melek mata, melainkan juga melek identitas. Sebagaimana yang dibayangkan Brian Cowan dalam buku The Social Life of Coffee: The Emergence of the British Coffeehouse, kelahiran kedai-kedai kopi -termasuk maraknya kedai kopi di Lampung - bukan sebatas untuk menyebarkan gosip tak jelas, menghabiskan waktu dan bercangkir-cangkir kopi, hanya bisa membuat mata melek untuk bergadang tetapi gagal melek informasi dan pengetahuan, tak menghasilkan apa-apa.
Kedai kopi di Lampung sudah saatnya diorientasikan menjadi ruang yang juga bisa menjelaskan Lampung, soal identitas, tradisi dan budaya sekaligus kedai kopi yang menjadi ruang kebanggaan sebagai salah satu daerah penghasil kopi terbesar di Indonesiam dengan menyajikan kopi khas Lampung tentunya.
Mulai ramainya perbincangan soal kopi di Lampung yang diikuti oleh berdirinya berbagai usaha yang memasarkan kopi dalan aneka rasa kopi khas Lampung, mulai dari kopi Liwa, Way Kanan, Tanggamus, Kota Metro, Kalianda, Lampung Tengah dan semua daerah di Lampung, menunjukkan kebanggaan dan kesadaran itu, bahwa kopi Lampung layak jual dan dinikmati oleh siapa saja.
Di akhir tulisan ini, mengutip kata-kata Dee Lestari dalam "ilosofi Kop" sebagai penutup, "...dapatkah kita kembali mengerti apa yang ditertawakan bocah kecil, atau yang digejolakkan anak belasan tahun seiring dengan kecepatan zaman yang melesat meninggalkan? Karena kita tumbuh ke atas, tapi masih dalam petak yang sama. Akar kita tumbuh ke dalam dan tak bisa terlalu jauh ke samping. Selalu tercipta kuttub-kutub pemahaman yang tak akan bertemu kalau tidak dijembatani. Jembatan yang rendah hati, bukan kesombongan diri."
Lampung, yuk ngupi pai!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H