Mohon tunggu...
Rahmatul Ummah As Saury
Rahmatul Ummah As Saury Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis dan Editor Lepas. Pemilik www.omah1001.com

Ingin menikmati kebebasan yang damai dan menyejukkan, keberagaman yang indah, mendamba komunitas yang tak melulu mencari kesalahan, tapi selalu bahu membahu untuk saling menunjuki kebenaran yang sejuk dan aman untuk berteduh semua orang.. Kata dan Ingatan saya sebagian ditulis di www.omah1001.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kopi Lampung, Identitas yang Hampir Hilang

23 November 2017   03:02 Diperbarui: 23 November 2017   04:00 1562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu kedai kopi di Lampung. Foto: minumkopi.com

Kopi Lampung harus ditegaskan bukan lagi sekadar membuat melek mata, melainkan juga melek identitas. Sebagaimana yang dibayangkan Brian Cowan dalam buku The Social Life of Coffee: The Emergence of the British Coffeehouse, kelahiran kedai-kedai kopi -termasuk maraknya kedai kopi di Lampung - bukan sebatas untuk menyebarkan gosip tak jelas, menghabiskan waktu dan bercangkir-cangkir kopi, hanya bisa membuat mata melek untuk bergadang tetapi gagal melek informasi dan pengetahuan, tak menghasilkan apa-apa.

Kedai kopi di Lampung sudah saatnya diorientasikan menjadi ruang yang juga bisa menjelaskan Lampung, soal identitas, tradisi dan budaya sekaligus kedai kopi yang menjadi ruang kebanggaan sebagai salah satu daerah penghasil kopi terbesar di Indonesiam dengan menyajikan kopi khas Lampung tentunya.

Mulai ramainya perbincangan soal kopi di Lampung yang diikuti oleh berdirinya berbagai usaha yang memasarkan kopi dalan aneka rasa kopi khas Lampung, mulai dari kopi Liwa, Way Kanan, Tanggamus, Kota Metro, Kalianda, Lampung Tengah dan semua daerah di Lampung, menunjukkan kebanggaan dan kesadaran itu, bahwa kopi Lampung layak jual dan dinikmati oleh siapa saja.

Di akhir tulisan ini, mengutip kata-kata Dee Lestari dalam "ilosofi Kop" sebagai penutup, "...dapatkah kita kembali mengerti apa yang ditertawakan bocah kecil, atau yang digejolakkan anak belasan tahun seiring dengan kecepatan zaman yang melesat meninggalkan? Karena kita tumbuh ke atas, tapi masih dalam petak yang sama. Akar kita tumbuh ke dalam dan tak bisa terlalu jauh ke samping. Selalu tercipta kuttub-kutub pemahaman yang tak akan bertemu kalau tidak dijembatani. Jembatan yang rendah hati, bukan kesombongan diri."

Lampung, yuk ngupi pai!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun