Pertengahan tahun 2000, dalam perjalanan pulang ke kampung, aku beristirahat dan shalat di sebuah masjid di Sumenep, Madura. Seusai shalat aku duduk di teras masjid, sekedar melepaskan penat setelah perjalanan panjang selama 2 hari dari Lampung. Di teras masjid itulah aku bertemu dengan seorang lelaki tua yang meminta sumbangan dariku seikhlasnya, sebagai anak rantau yang akan mudik tentu saja aku tak memiliki uang banyak, dengan menghitung sisa bekalku, maka ku beri selebihnya dari kebutuhanku hingga sampai pulau.
Setelah mendapatkan uang, bukannya lelaki tua itu pergi, malah ia duduk bersila serius di depanku. Dia memintaku menunjukkan telapak tangan, dan mulai mengomentari garis-garis tanganku, dan meramalkanku akan sukses setelah berusia 35 tahun. Aku bengong dan tak sedikitpun ada keingin untuk mempercayai kata-kata lelaki tua itu. Lelaki tua itu pamit, dan tak lupa mengingatkanku untuk selalu membantu orang lain dan mendoakanku agar menjadi manusia yang sukses. Aku tergagap, hanya bisa menjawab salamnya, aku mengikutinya dengan pandanganku hingga ia hilang di ujung jalan keluar dari halaman masjid.
Seperginya lelaki tua itu, aku bergumam sendiri kok masih ada orang-orang yang irrasional di muka bumi ini. Kini, kisah itu telah berlalu 14 tahun, usiaku kini telah 37 tahun, aku teringat pada sosok lelaki tua itu, aku berusaha mengenang dan merenungi setiap kata-kata yang ia ucapkan, dan berusaha untuk mengambil pelajaran dari apa yang ia ucapkan, ucapan yang dulu telah ku nilai dengan buruk sangka sebagai basa-basi dia saja karena telah ke beri uang. Betapa kotornya hatiku, yang telah menvonis orang secara sembrono.
Empat belas tahun, entah dimana kini lelaki tua itu, ingin ke rengkuh badannya yang telah renta dan kuminta maaf atas prasangkaku. Kini aku mengerti, bahwa kata-kata lelaki tua itu adalah motivasi bukan ramalan! Aku mengerti dia telah meninggalkan beberapa pesan penting, Pertama, ia hendak menegaskan bahwa ia tidak mendapatkan uang yang ku beri itu bukan tanpa kerja, ia bekerja dengan mengorbankan waktunya sekedar untuk membaca garis-garis di telapak tanganku. Bukankah, banyak orang yang menghabiskan uang jutaan rupiah bahkan puluhan juta hanya sekedar untuk mengetahui masa depannya dan mendati peramal, jika tak percaya tanyakanlah para calon anggota dewan, calon bupati, calon gubernur atau bahkan calon presiden yang pernah melakukan itu.
Aku memberi uang tak seberapa kepada lelaki tua itu, dan dengan sungguh-sunguh ia telah melakukan hal yang sama bahkan mungkin lebih terhormat dari para dukun yang dibayar dengan puluhan juta. Pendeknya, aku menjadi mengerti bahwa lelaki tua itu ingin menegaskan bahwa ia mendapatkan 'sedekah'ku yang sebenarnya bukan kebajikan itu melainkan kewajibanku sebagai orang beragama itu dengan bekerja.
Kedua, meski sekarang ini aku telah berusia 37 tahun dan menurutku telah mencapai sukses bahkan beberapa tahun sebelum berusia 35 tahun berbeda dari yang pernah dikatakan lelaki tua itu, namun harus ku akui bahwa kerja-kerjaku itu karena motivasi besar dari lelaki tua itu, aku berjuang untuk membantah dan menundukkan "ramalan" lelaki tua itu.
Ketiga, di usia 37 tahun beranjak ke 38 menjelang tahun baru nanti, secara tak sengaja aku teringat kembali lelaki tua itu, sehingga aku tergerak untuk memikirkan dan mendifinisikan ulang (rethingking) kesuksesanku.Kesuksesan sebagaimana pernah ku tulis di tulisan "Obat Kuat dan Kehidupan" seharusnya dibangun di atas proses kerja keras dan tak mengabaikan orang lain, karena kesuksesan yang diperoleh dengan cara instan dan abai terhadap orang lain, adalah hina, tak memiliki harga diri dan abnormal.
Lelaki tua itu seolah hadir untuk mengingatkanku, sudahkah engkau sukses setelah ku ramalkan akan sukses di umur 35 tahun ke atas? Aku tak sanggup untuk menjawab pertanyaan yang tiba-tiba hadir itu, ketika aku selalu mengkhutbahkan kesuksesan itu diukur bukan seberapa besar materi yang diraih, tetapi seberapa besar manfaat yang telah diterima dan dirasakan oleh orang lain, orang tua itu menyeringai seolah mengolok-ngolok kata-kataku itu.
Lelaki tua itu kini hadir sebagai pengadil atas pikiran-pikiran dan kerja-kerjaku, mengadiliku yang dulu telah mengadilinya dengan perasangka buruk. Lelaki tua itu seakan berujar, "apakah kamu berpikir aku sama dengan lelaki tua yang lain, yang tinggal di gunung-gunung, di dalam Goa, membuka tempat-tempat praktek perdukunan, membakar kemenyan dan memandikan keris dengan kembang tujuh rupa? Apakah kamu tidak bisa membedakan tempat dimana aku menemuimu?
Oh, lelaki tua, alangkah baiknya kau tak hadir tidak hanya untukku, jadilah juru selamat kemanusiaan. Manusia hari ini butuh pencerahanmu, agar mereka bisa berbagi, katakan kepadaku dan semua umat manusia bahwa jika mereka memiliki harta berlimpah, memberi sebagian rezekinya kepada yang membutuhkan bukanlah kedermawanan, melaikan kewajiban mereka. Katakanlah kepada mereka, bahwa mereka akan menyesal saat kehilangan momentum berbuat baik, yaitu suatu masa dimana orang-orang susah (mustadhafien) tak memerlukan lagi kebaikan dan kedermawanan mereka. Mereka akan menyesal.
Oh, lelaki tua. Maka saksikanlah hari ini aku akan bergerak, membutkikan kata-katamu bahwa aku akan sukses. Sukses sebagai manusia yang mau bekerja keras, menjalani proses dengan penuh kesabaran dan merawat optimisme, sukses dengan tak lagi mengabaikan orang lain, sukses bersama manusia-manusia yang lain.