Akhir-akhir ini kita dipertontonkan perseteruan seru dua koalisi besar di parlemen. Koalisi Merah Putih (KMP) versus Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Bahkan untuk menghindari stigma negatif tentang model koalisi yang dibangun, KMP menyebut ideologi koalisinya sebagai aliran politik konservatif dan menyebut KIH beraliran politik liberal.
Walaupun ide-ide dua aliran politik tersebut masih harus diuji plus-minusnya dalam praktik koalisi ke depan. Hal yang mungkin saat ini perlu didialogkan adalah pluralitas ideologi politik yang tampak pada parpol yang bergabung di dua koalisi tersebut. Maka pertanyaan yang relevan untuk diajukan adalah, benarkah koalisi yang dibangun berbasis kesamaan ideologi, atau sebaliknya hanya dilatarbelakangi kepentingan?
Arend Lijphart (1999) menyebut koalisi adalah keniscayaan demokrasi konsensus (consensus model of democracies), yang secara garis besar koalisi dipetakannya dalam dua tipe. Pertama, minimum winning coalition, yakni koalisi yang dilatarbelakangi oleh kepentingan untuk meraih kemenangan di parlemen. Kemenangan ini menjadi penting karena politik lebih dimaknai sebagai kuantitas suara di parlemen yang akan menentukan kelangsungan kekuasaan di pemerintahan (eksekutif). Kedua, connected winning coalition atau koalisi yang didasarkan kesamaan ideologi. Walaupun kemenangan itu tetap menjadi target, namun koalisi ini tetap berpijak kepada ideologi yang dianutnya.
Sulit untuk memberi jawaban dan kesimpulan, bahwa KMP sedang berusaha membangun oposisi kuat untuk mengontrol kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan oleh Pemerintahan Jokowi-JK. Di samping model oposisi tidak dikenal dalam sistem pemerintahan presidensial sebagaimana dijelaskan dalam konstitusi, praktik-praktik berpolitik KMP pun lebih terlihat pada kepentingan berbagi kekuasaan.
Buramnya idelogi politik dan orientasi kepentingan/kekuasaan KMP menjadi indikasi awal untuk mencurigai bahwa KMP berpotensi menjadikan pemerintahan Jokowi-JK menjadi stagnan dan tampak bodoh, dan ini adalah ancaman serius terhadap keberlangsungan demokrasi dan penguatan politik sipil. Alih-alih kita bisa berharap kepada KMP untuk menjadi kontrol efektif terhadap kekuasaan, yang ada justeru kekhawatiran KMP menjadi teror politik.
Oposisi dan Teror Politik
Oposisi, kata itu berasal dari bahasa Latin opponere, yang berarti menentang, menolak, melawan. Nilai konsep, bentuk, cara, dan alat oposisi itu bervariasi. Nilainya antara kepentingan bersama sampai pada kepentingan pribadi atau kelompok.
Oposisi di alam demokrasi adalah keniscayaan sejarah, karena pasti akan ada kebaikan dan kejahatan dalam praktik bernegara dan berbangsa. Prinsip mengontrol dominasi kekuasaan ini akan selalu relevan dengan zaman. Prinsip ini akan dapat disuarakan dan terus diperjuangkan selama sebuah bangsa memiliki masyarakat yang kuat (civil society untuk melawan hegemoni Negara sehingga memberikan harapan terhadap prospek demokratisasi.
Sedangkan kata teror pertama kali dikenal pada zaman Revolusi Prancis. Di akhir abad ke-19, awal abad ke-20 dan menjelang Perang Dunia kedua (PD-II), terorisme menjadi teknik perjuangan revolusi. T.P.Thornton dalam Terror as a Weapon of Political Agitation (1964) mendefinisikan penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijakan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya dengan penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan. Terorisme dapat dibedakan menjadi dua katagori, yaitu enforcement terror yang dijalankan penguasa untuk menindas tantangan terhadap kekuasaan mereka, dan agitational terror, yakni teror yang dilakukan menggangu tatanan yang mapan untuk kemudian menguasai tatanan politik tertentu.
Kontekstualisasi kata oposisi dan teror dalam politik Indonesia saat ini, menjadi penting untuk menguji KMP yang secara beruntun telah memenangkan “voting” di parlemen, mulai UU MD3, UU Pilkada, pemilihan pimpinan DPR, pemilihan pimpinan MPR, dan bisa saja akan memenangkan seluruh permainan dan pertandingan yang akan di gelar berikutnya.
Oposisi yang sejatinya adalah untuk mengontrol dominasi kekuasaan dan diorientasikan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat, menjadi salah satu alat ukur efektif, apakah deretan-deretan kemenangan KMP yang secara beruntun itu layak untuk dikategorikan sebagai oposisi atau justru merupakan tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi dan membuat kebijakan yang bermuara pada terpangkasnya hak-hak politik rakyat, dan menjadi tindakan politik yang berbau teror?