Mohon tunggu...
Rahmatul Ummah As Saury
Rahmatul Ummah As Saury Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis dan Editor Lepas. Nge-blog di www.ru-blog.com

Ingin menikmati kebebasan yang damai dan menyejukkan, keberagaman yang indah, mendamba komunitas yang tak melulu mencari kesalahan, tapi selalu bahu membahu untuk saling menunjuki kebenaran yang sejuk dan aman untuk berteduh semua orang.. Nge-blog di www.ru-blog.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Media dan Rakyat

17 Desember 2014   06:16 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:09 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

REFORMASI yang memberi ruang besar bagi kebebasan informasi telah memicu tumbuh suburnya berbagai jenis media, mulai dari media yang dikelola secara serius hingga media yang tak memiliki basis pemahaman jurnalistik yang baik, bahkan secara ekstrem kemunculan media sosial seperti facebook, twiter, blog, dan bentuk serupa lainnya diakui sebagai media efektif untuk menyebarkan informasi, baik yang positif maupun yang berisi fitnah dan caci maki.

Di satu sisi, kelahiran media-media ini pantas dirayakan sebagai kemajuan, karena rakyat dengan sangat mudah mengakses informasi penting, dan pada titik ini media diharapkan menjadi pilar penting demokrasi, mengontrol berbagai kebijakan yang terkait langsung dengan kepentingan rakyat, sehingga rakyat diharapkan lebih terdidik dan tercerahkan.

Namun, di sisi lain kemunculan media yang banyak dikuasai oleh para pemodal dan kekuasaan, melahirkan kekhawatiran-kekhawatiran baru, apakah media mampu berdiri pada posisi yang netral, dengan informasi-informasi yang bisa mencerdaskan rakyat. Pada level inilah keberadaan media layak dipertanyakan, apakah masih bisa menjadi pilar keemapat demokrasi?

Pembacaan atas realitas keberadaan media di Indonesia saat ini, akhirnya menghantarkan kita pada ruang frustasi massal, karena hampir semua rakyat akan sampai pada kesimpulan hubungan media dengan rakyat bak hubungan siang dan malam, bertemu di penghujung senja, buram dan samar.

Media justru menjelma menjadi corong kekuasaan dan pemilik modal, dan rakyat berada di pinggiran sebagai pembaca yang kadang-kadang diberikan informasi yang sesat.

Untuk menunjuk kasus, sekedar mencontohkan, bagaimana dua media mainstream memberitakan kasus Lapindo Sidoarjo, atau berkaca pada kasus lain bagaimana kejelataan, nasi aking, kemiskinan hanya menjadi pemberitaan yang diakrabi media menjelang pemilu karena kepentingan politik pencitraan, jika pun ada pemberitaan kemiskinan di luar kasus-kasus itu, maka tak sedikit yang menjadikannya sebagai komoditas penekan terhadap kekuasaan yang gak mau berdamai dengan media bersangkutan.

Tentu tidak adil jika penulis menunjuk semua media telah memangkas harapan rakyat untuk memberikan informasi yang sehat, karena pasti masih ada media yang secara konsisten berada di posisi yang netral, walaupun sulit untuk mencontohkannya, sehingga biarlah itu menjadi misteri yang tak perlu ditulis dan dibahas dan membiarkannya menjadi kebaikan yang senyap.
****
Media dan Lingkungan Semu
****
Reformasi yang berdampak pada ide-ide kebebasan pers tidak hanya berimplikasi pada terkuaknya praktik-praktik liar politik atau penyelewengan yang dilakukan oleh penguasa namun pada kenyataannya reformasi juga menjadikan media sebagai ‘gigant organism’ yang pengaruhnya luar biasa dalam masyarakat.

Media menjadi mesin pencetak consiciousness yang mengatur bagaimana setiap orang berpikir, bertutur kata, bersikap dan berperilaku sebagai manusia. Media menciptakan lingkungan manusia yang jauh dari kenyataan dan menghadirkan peristiwa-peristiwa yang menurut istilah Daniel Boorstin ialah unauthentichappenings.

Water Lippmann dalam bukunya yang berjudul Public Opinion terbitan tahun1922 menjelaskan tentang lingkungan semu. Ia mengatakan bahwa dunia obyektif yang dihadapi oleh manusia itu tak terjangkau, tak terlihat, dan tak terbayangkan. Hal ini dimanfaatkan sepenuhnya oleh para politisi melalui kekuasaannya dan akses yang dimilikinya untuk mempengaruhi masyarakat melalui media.

Media mengakomodir pertarungan atau perang opini dari politisi yang notabene tidak mendidik bahkan membohongi masyarakat. Dalam banyak hal, hanya karena alasan ekonomi atau profit, media banyak menampilkan tokoh-tokoh politik untuk memberikan image yang berbeda pada masyarakat. Hal ini pada umumnya banyak terjadi ketika menjelang Pemilu.

Tidak menjadi rahasia lagi, beberapa media yang ada di Indonesia bak gurita yang memiliki kaki- kaki hampir di seluruh pelosok nusantara, dimiliki oleh beberapa politisi dan elit partai politik, implikasinya sudah pasti bisa ditebak, berita-berita yang berpihak pada kepentingan politik para pemiliknya.

Lingkungan semu yang dibentuk oleh media- media tersebut dilakukan melalui keberpihakan terhadap salah satu kandidat. Hal ini dapat dilihat dengan pemberitaan yang tidak cover both sides atau berat sebelah. Saat menampilkan atau memberitakan seorang kandidat yang disukainya, media akan memilih angle-angle yang mampu menarik dan memikat sisi emosional audiensnya.

Sebaliknya, media juga dapat memberikan judgement yang negatif kepada kandidat lain sehingga peran media sebagai pembangun opini publik juga tidak lepas dari faktor ekonomi politik media. Contoh- contoh begitu sangat mudah dideteksi pada pelaksanaan pemilu yang lalu.

Media juga dihadapkan dengan benturan kepentingan ekonomi politik, hal itu ditandai dengan ketidakmampuan media menyediakan point of view yang beragam yang mencerminkan berbagai kepentingan masyarakat luas.

Media cenderung mereduksi pemberitaannya dan mengemasnya dengan angle yang memang dirasakan menguntungkan secara ekonomi.

Akhirnya, media hari ini berkembang sebagai pembentuk opini publik, dalam kurun waktu yang begitu cepat media telah mengubah pola kehidupan masyarakat secara signifikan, bahkan secara ekstrem media diklaim mampu mengubah pengetahuan kehidupan masyarakat.

Realitas perubahan paradoksal atas kebebasan media ini melahirkan wajah ganda, di satu sisi keterbukaan dan kebebasan ini memiliki dampak positif, dan di sisi lain melahirkan hipokrasi baru, sehingga pegiat media banyak yang berubah menjadi tukang palak yang suka menebar teror.

Akhirnya, simbiosisme negatif antara kekuasaan dan media terbanguan dalam hubungan haram yang akhirnya melahirkan berita- berita yang tak layak dikonsumsi.

Semoga masuk di tahun keempat usia Koran Editor, sebagai media yang mengukuhkan identitasnya sebagai koran politik, mampu keluar dari mainstream media seperti digambarkan di atas, sehingga bisa betul- betul diharapkan menjadi media yang mencerdaskan rakyat. Amin. (*)

Tulisan ini pernah dimuat di Harian Koran Editor.

Penulis sengaja dedikasikan tulisan ini untuk Hari Ulang Tahun Koran Editor Ke-3

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun