Mohon tunggu...
Rahmatul Ummah As Saury
Rahmatul Ummah As Saury Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis dan Editor Lepas. Nge-blog di www.ru-blog.com

Ingin menikmati kebebasan yang damai dan menyejukkan, keberagaman yang indah, mendamba komunitas yang tak melulu mencari kesalahan, tapi selalu bahu membahu untuk saling menunjuki kebenaran yang sejuk dan aman untuk berteduh semua orang.. Nge-blog di www.ru-blog.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Merantau

7 Februari 2015   11:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:39 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku hanya diam mendengarkan nasehat-nasehat dari saudara-saudara Enci.

"Jika merantau tujuannya belajar, maka tak boleh ada kegiatan-kegiatan yang mengganggu tujuan itu. Ketika orang tua sudah mempercayaimu untuk pergi jauh dan tidak lagi dalam pengawasan mereka, itu artinya mereka percaya bahwa kamu sudah bisa mengurus diri sendiri, menentukan sikap sendiri, termasuk mereka percaya kamu bisa berhasil." Panjang lebar Embo Ahing menimpali.

Tiba-tiba aku merasa sangat sedih, tak kuat batinku meninggalkan pulau ini. Banyak hal yang telah ku lalui bersama saudara-saudaraku. Ketika musim libur pesantren, di Langgar inilah aku menghabiskan waktu bersama saudara dan teman-teman seusiaku. Kami biasanya hanya pulang makan, mandi dan ganti pakaian.

Di Langgar ini kami mengukir mimpi tentang pulau kami, pulau kami yang tak lagi gelap gulita ketika malam, anak-anaknya tak susah untuk melanjutkan sekolah. Di Langgar inilah aku bersama teman-temanku di pesantren mengajarkan anak-anak pulau melek aksara, mengajar mereka mengaji. Di Langgar ini juga aku belajar hidup dari teman dan uwak-uwakku, bagaimana kami harus bekerja dan mandiri, bagaimana kami mengerti bagaimana susahnya kehidupan orang tua kami.

Di pulau ini, aku menghabiskan waktu sekolah dasarku. Berjalan dari ujung barat ke ujung timur pulau ini, tempat sekolahku, tanpa alas kaki, melewati sawah berlumpur ketika hujan dan bongkahan-bongkahan tanah sawah yang retak karena kemarau panjang.

Pagi-pagi, sebelum matahari muncul kami telah berlarian gembira dengan kantong plastik yang ditambah tali diselempangkan di bahu, berisi buku-buku sekolah. Siang, di bawah terik matahari, sepulang sekolah kami juga akan berlari, berlomba untuk segera sampai di rumah, makan dan segera siap-siap pergi ke laut untuk menangkap nener yang bisa kami jual untuk sekedar membeli mainan atau buku baru.

Pulau ini, esok sudah harus ku tinggalkan.

Aku melirik Owe, tapi ia sibuk membaca sebuah buku Fiqh. Tak ikut memberiku nasehat, hingga waktu isya' menjelang.

***

Di rumah, makanan telah disiapkan. Semua jama'ah dari Langgar berkumpul di rumahku. Ini juga tradisi di pulauku, bukan hanya keluarga dan saudara-saudara yang berkumpul, jika ada salah satu warga dari pulau kami hendak merantau dalam rangka menuntut ilmu, tetangga-tetangga juga akan berdatangan dan turut memberikan doa restu, agar kesuksesan menyertai si penuntut ilmu.

Seluruh warga pulau seolah menaruh harapan, meski tak sempat mereka katakan. "Kamulah harapan kami orang tua ini, untuk membangun dan menata masa depan pulau ini."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun