Menelanjangi Diri
Sikap membanggakan dan mengagumi diri sendiri secara berlebihan dan menganggap orang lain lebih rendah (ego dan narsis), secara sederhana sebenarnya bisa dikikis dengan upaya menelanjangi diri sendiri. Cobalah sesekali berdiri telanjang di depan cermin besar, lihatlah hal yang paling privat yang selama ini ini disembunyikan dan dikhawatirkan diketahui orang lain (aib), lihatlah hal paling terburuk dari cacat diri, hingga menembus kelakuan-kelakuan yang metafisika, pikiran-pikiran kotor dan jorok, kecenderungan-kecenderungan jahat yang ditutupi, dan kemudian jujurlah untuk memberikan nilai pada point-point tersebut tanpa rasa takut dan malu.
Apa yang terjadi? Ternyata kita akan menemukan sosok kedirian yang tidak utuh, tidak melulu baik, bahkan jika dipertimbangkan, jangan-jangan lebih banyak hal yang lebih memalukan untuk diketahui orang lain, daripada hal-hal yang membanggakan dan tampak baik. Tidak Sempurna! Itulah hal yang lebih manusiawi, kita berada pada porsi di tengah, antara kelebihan dan kekurangan yang menempel secara lekat.
Manusia, sebagaimana hakekatnya bukanlah makhluk yang dilahirkan dan dikehendaki sempurna oleh Tuhan, meskipun penciptaannya dengan sebaik-baik bentuk (ahsanu al taqwim), pengakuan manusia sebagai makhluk yang gemar berkeluh kesah, salah dan lupa, dan pemberian ruang permaafan atas segala kelalaian, menjadi penunjuk jelas, bahwa yang diperlukan adalah tingkat kesadaran untuk mengambil pelajaran dari setiap perjalanan kesalahan-kesalahan menuju pada kebenaran-kebenaran yang dinamis dan tak pernah selesai.
Ali Syariati menilai pada dasarnya manusia lahir dari dua hakekat yang berbeda; tanah bumi dan ruh suci. Dalam bahasa manusia tanah (lumpur) adalah simbol kerendahan, kenistaan serta kekotoran. Dan tidak ada satupun dalam alam semesta ini yang paling rendah dan hina selain dari pada lumpur. Disisi lain dalam bahasa manusia, Tuhan adalah Maha Sempurna dan Maha Suci, dan dalam setiap mahluk bagian yang paling sempurna, paling murni dan paling suci adalah spirit Maha Sempurna.
Manusia adalah makhluk dua dimensi yang membedakannya dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain, yang hanya diciptakan dalam satu dimensi. Manusia adalah sintesa dari dua dimensi tersebut, sehingga dari dua sintesa inilah kemudian manusia memiliki kebebasan untuk memilih jalan hidup apakah manusia ingin menuju kepada kerendahan, kenistaan atau menuju kepada kesempurnaan. Ketika manusia cenderung kepada Ruh Ilahi maka dia memilih regersif menuju dan “menyatu dengan tuhan” namun jika yang cenderung dari manusia adalah kepada tanah maka disinilah manusia mengalami kerendahan dan kehancurannya karena manusia tidak lebih seperti binatang.
Sekali lagi, saya dengan penuh kesadaran mengajak untuk berdiri telanjang di depan cermin, memeriksa segenap bagian kedirian kita, apakah masih tersisa panu, kurap, kudis dan penyakit-penyakit memalukan lainnya, bukan hanya pada fisik yang lahir, tetapi juga pada hati dan pikiran kita, apakah pikiran dan hati itu berkudis, berpanu dan kurapan.
____
Sebagian tulisan ini diambil dari wikipedia.org khususnya terkait pengertian ego dan narsisme.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H