Pacaran sering dimaknai sebagai masa pendekatan yang ditandai dengan adanya saling pengenalan pribadi baik kekurangan atau kelebihan masing-masing individu dari kedua lawan jenis. Biasanya, setiap orang yang pacaran saling mengikatkan diri dalam aturan-aturan tertentu, seperti tidak boleh jalan dengan perempuan atau laki-laki lain, bertemu pada hari-hari tertentu (biasanya malam/hari minggu yang biasa disebut apel/kencan), memberi kabar sesuai kesepakatan (setiap hari/minggu) dan aturan-aturan lain yang menunjukkan bahwa antara pasangan pacaran saling memiliki sehingga harus menunjukkan perhatian.
Aturan-aturan berupa larangan dan perintah tertentu menjadi lazim bagi mereka yang berpacaran, sehingga jika ada pelanggaran-pelanggaran terhadap aturan tersebut, maka disebutlah sebagai pengkhianatan. Ironinya, setiap tindakan-tindakan lain baik yang menguntungkan ataupun yang merugikan dalam hubungan pacaran tidak memiliki konsekuensi apapun. Semisal, saat kedua orang pacaran melakukan hubungan intim seperti ciuman atau lebih dari sekedar ciuman (hubangan badan), tidak secara otomatis melahirkan konsekuensi dalam bentuk tanggungjawab untuk hidup bersama.
Pacaran kerap terbangun dalam relasi yang pincang, kesediaan perempuan untuk berkorban hingga menyerahkan kehormatannya sebagai tuntutan untuk membuktikan kedalaman cinta seringkali berujung pada bentuk dominasi laki-laki atas tubuh perempuan. Perempuan tak jarang dituntut untuk setia dan bergantung penuh terhadap laki-laki, namun tak berlaku sebaliknya. Perlawanan perempuan untuk menuntut hubungan yang setara dengan laki-laki dalam pacaran sering berujung pada ancaman dan kekerasan verbal, bahkan kekerasan pisik dan psikis, seperti dipukul dan diputuskan secara sepihak.
Penulis, tidak menolak pacaran sebagai kecenderungan manusiawi untuk tertarik kepada lawan jenis, namun relasi yang sering berujung pada ketidakadilan yang menjadikan perempuan sebagai korban, penting untuk dibincangkan ulang dalam rangka mereposisi pengertian pacaran yang lebih adil dan setara.
Pacaran tidak boleh terbangun sebagai upaya untuk melegitimasi budaya patriarkhi yang akrab dengan kekerasan, bentuk dominasi dan kesewenangan-wenangan laki-laki yang diamini oleh tradisi dan budaya, setiap orang hars menyadari bahwa kekerasan dalam pacaran (dating violence) akan berdampak permanen pada kekerasan dalam rumah tangga.
Praktek pacaran yang mengukuhkan dominasi laki-laki terhadap perempuan, terlihat pada ketatnya aturan-aturan yang dibuat oleh laki-laki terhadap pacarnya, bahkan terkadang aturan untuk mementingkan dirinya sebagai pacar dari kepentingan si perempuan atau kepentingan-kepentingan lain yang positif, seperti aturan untuk menemaninya kapanpun ia minta meskipun di saat yang sama si perempuan memiliki hajat/acara yang tak kalah pentingnya tapi ia harus meletakkan kepentingan itu di bawah kepentingan si pacar (baca; laki-laki).
Dominasi dalam praktek pacaran seperti ini akhirnya melahirkan relasi yang hirarkis, yakni posisi laki-laki sebagai atasan dan perempuan sebagai bawahan, dan kekerasan sering terjadi dalam pola hubungan hirarkis atasan-bawahan, yang menguasai dan dikuasai, tidak jarang kita saksikan banyaknya perempuan yang melawan orang tuanya untuk sebuah ketundukan dan kepasrahan atas kuasa (baca; penjajahan) pacarnya.
Kekerasan yang terjadi dalam relasi personal perempuan ini biasanya terdiri dari beberapa jenis, misalnya serangan terhadap fisik, mental/psikis, ekonomi dan seksual. Segi fisik, kekerasan yang dilakukan seperti memukul, meninju, menendang, menjambak, mencubit dan lain sebagainya, sedangkan kekerasan terhadap mental seseorang biasanya seperti cemburu yang berlebihan, pemaksaan, memaki-maki di depan umum dan lain sebagainya. Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) berkaitan erat dengan kesehatan baik jangka pendek maupun jangka panjang, yang meliputi: perlukaan fisik, gangguan saluran pencernaan, sindroma nyeri kronik, dan perilaku depresi atau ancaman bunuh diri.
Data Women Crisis Center kekerasan dalam pacaran pada tahun 2009 tercatat 52 kasus kekerasan. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan tahun 2008 yang hanya terjadi 22 kasus, angka ini terus meningkat hingga 2014, tentu saja ini angka yang terdata, pasti akan lebih besar lagi jumlahnya dibandingkan dengan yang tidak terdata. Meningkatnya angka kekerasan dalam pacaran karena banyak korban (perempuan) yang dipaksa atau dibujuk melakukan hubungan intim saat berpacaran.
Akhirnya, pola relasi pacaran tanpa kontrak yang jelas sehingga melahirkan perlakuan dan kekerasan baik verbal, pisik dan psikis yang tak memiliki konsekuensi logis apapun, harus dirubah dengan pola relasi pacaran yang setara, dengan sikap bahwa perempuan harus mengukuhkan dirinya sebagai pemilik yang berkuasa penuh atas diri dan aktifitasnya, merdeka, bebas tanpa mau didominasi dan dikuasai oleh laki-laki, atau ia mendapatkan penyesalan panjang karena salah memosisikan diri dalam relasi yang tak adil.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H