Mohon tunggu...
Rahmat Tk Sulaiman
Rahmat Tk Sulaiman Mohon Tunggu... Wiraswasta - Dosen dan Aktifis Sosial Keagamaan

Dari SURAU Untuk BANGSA

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Pakiah dalam Training Kesabaran

27 Juni 2020   16:58 Diperbarui: 27 Juni 2020   16:52 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pada tulisan yang masih membicarakan tentang pakiah, penulis mengawalinya dengan mengutib kata Ali bin Abi Thalib "Aku akan terus bersabar bahkan sampai kesabaran itu sendiri merasa lelah dengan kesabaranku". Kata-kata sabar sering kita dengar keluar dari seseorang yang mendapat ujian dan cobaan. Kata sabar mudah diucapkan, tapi terkadang sabar itu tidak mudah untuk dipraktekan. Bahkan sering kita dengar dan kita baca dalam tampilan qoute bahwa Sabar itu ilmu tingkat tinggi, belajarnya setiap hari, latihannya setiap saat dan ujiannya sering mendadak. Hanya orang yang berjiwa besar yang mampu menerapkan sikap sabar ini dalam kehidupan sehari.

Dalam konteks ini Pakiah diuji dan dilatih kesabarannya ketika mereka mendatangi rumah warga untuk mengajaknya bersedekah. Dalam proses itu bagi masyarakat yang kurang berkenan kadang memberikan cibiran dan bahkan ada kata-kata hinaan terhadapnya, tetapi semuanya didengar dengan penuh kesabaran. Kalau istilah dilannya "Sabar itu berat, biar pakiah saja " Meskipun ada ungkapan mengatakan jika sabar ada batasnya, namun ada pula yang mengatakan jika sabar tak ada batasnya. Kondisi apapun pakiah dilatih untuk bersabar.

Dalam pengajian-pengajian yang selalu dibaca dan disampaikan oleh guru-guru di surau bahwa sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. Sebab hakikatnya sabar itu tidak ada batasnya, sehingga disebutkan bukanlah kesabaran namanya jika masih mempunyai batas dan bukanlah keikhlasan namanya jika masih merasakan sakit. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas

Tulisan ini bukan bermaksud untuk membenturkan persoalan atau mengungkit masalah, tetapi lebih kepada merefleksikan proses interaksi dan perlakuan secuil masyarakat terhadap pakiah. Tetapi hal demikian memberikan proses pembelajaran dimana pakiah harus belajar untuk menedahkan hati tapi bukan merendahkan diri.

Sikap seseorang itu terbentuk tergantung kepada bagaimana cara orang memperlakukannya atau yang ghalib disebut dengan istilah aksi dan reaksi. Jika masyarakat memperlakukan dan meresponnya dengan baik, dengan tutur kata yang baik, akan terbentuk sikap yang baik, sikap saling menghargai.

Tentu yang namanya masyarakat, berbagai cara dan bentuk dalam menerima kedatangan pakiah ke rumahnya, ada yang menyambutnya dengan hangat dan ramah, ada sebagian kecil yang meresponnya dengan sinis sambil melontarkan kata-kata yang menyakitkan bagi pakiah yang masih kategori remaja.

Berbagai kejadian dan perlakuan itu mengajarkan pada pakiah untuk memahami realitas sosial masyarakat dalam merespon sesuatu. Tidak semuanya sesuai dengan keinginan dan harapan kita, ada yang suka dan ada yang tidak suka, ada yang terima dan ada yang tidak terima. Pada akhirnya membuat pakih menjadi bisa menerima keadaan dan legowo, serta akan mengajarkan nilai kebijaksanaan dalam menerima perbedaaan.

Dengan demikian pakiah akan menjadi humanis, toleran dan iklusif, bahkan pakiah menjadi bisa memetakan tipologi masyarakat dalam meresponnya. Meskipun ada dari kalangan kelompok tertentu justru menilai pakiah dengan sebutan mempermalukan atau memperburuk citra agama.

Kemudian dalam hidup juga ada pilihan, karena keterbatasan ekonomi pakiah dipilih dalam realitas sosial untuk memungut atau mendorong masyarakat untuk berinfak dan bersedekah.  Tentu saja mengunjungi rumah warga adalah proses belajar untuk memotret kehidupan masyarakat, ada masyarakat yang hidupnya sederhana, tinggal di rumah sederhana tetapi punya perhatian dan kepedulian yang tinggu, punya semangat untuk berbagi, bersemangat berinfak dan sedekah.

Sebaliknya ada sebagian kecil yang tinggal di rumah mewah dan besar, tapi ketika pakiah datang  ke rumahnya, rumahnya ditutup dan tidak mau membantu pakiah dengan memberikan sedekah ala kadarnya. Maka pakiah bisa saja berkesimpulan bahwa dalam berinfak dan bersedekah itu tidak tergantuang pada kaya atau miskinnya,tetapi tergantung kepada orangnya.

Orang kaya bersedekah itu adalah wajar, orang miskin tidak berinfak juga wajar. tetapi yang bernilai tinggi adalah ada orang miskin tapi gemar berbagi dan berinfak. Yang anomali adalah ada orang kaya tapi pelit, tidak mau berbagi dan tidak mau berinfak. Bahkan ekstrimnya sudahlah tidak memberi malah mengeluarkan kata-kata yang menyakitkan pula.

Dalam konteks ini Pakiah belajar untuk melanjutkan tradisi para rasul Tuhan yang selalu mengajarkan kepada pengikutnya atau ummatnya untuk membalas kejelekan yang dilakukan orang lain dengan kebaikan, hinaan dibalas dengan senyuman. Dahulunya Nabi Muhammad SAW pernah dilempari orang di Thaif saat beliau mengajak mengajak manusia kepada Islam.

Akibat dari lemparan tersebut sampai-sampai kaki Nabi berlumuran darah. Kemudian malaikat menawarkan bantuan untuk menimpakan gunung pada orang-orang yang telah menyerangnya. Nabi menjawab tidak atas tawaran malaikat itu, sambil berdoa : Ya Allah, berilah petunjuk kepada kaum saya, karena mereka adalah orang-orang yang belum mengerti.

Pakiah mengajarkan pada kita tentang tradisi para nabi dan orang-orang saleh untuk senantiasa menjadi sabar. Karena untuk menjadi sabar itu butuh proses, dan pakiah berada dalam proses training kesabaran itu, dimulai dari sabar terhadap ujian keterbatasan ekonomi, sabar dari godaan dunia dan kemajuan teknologi serta sabar dari menahan kerinduan kepada orang tua.

Di antara perbuatan baik yang sangat tinggi nilainya adalah membalas keburukan orang kepada kita dengan kebaikan, membalas cibiran dengan pujian dan sebagainya. Bagi pakiah hal demikian bukanlah sesuatu yang mustahil karena perintah Allah untuk itu. Alhasil pakiah menjadi lebih matang dan dewasa meskipun masih berusia muda.

Proses pembentukan karakter pakiah itu pada masa training dimulai melalui pengajian yang diajarkan di pesantren atau surau lewat nilai-nilai kemandirian, disiplin, hormat kepada yang tua dan sayang kepada yang muda.

Pada diri Pakiah itu melekat dua peran sekaligus atau disebut dengan istilah berperan ganda yaitu berperan sebagai guru dan sebagai murid. Pada waktu tertentu dia menjadi murid dari gurunya yaitu saat dia belajar. Kemudian setelah selesai belajar secara resmi, dia akan berperan menjadi guru tuo bagi yuniornya. Kalau tidak maaja, baraja (kalau tidak mengajar (jadi guru), ya belajar yaitu jadi murid).

Dalam memainkan peran tersebut, kesabaran pakiah senior terus dilatih karena menghadapi yuniornya yang masih kecil dan berbagai macam perangainya. Dia akan mengajarkan pada adik-adiknya ilmu yang sudah dipelajari dan secara tidak langsung kajinya juga terulangi kembali. Adik kelasnya mendapatkan ilmu, dan pelajarannya teringat kembali alias manjadi guru tuo bagi yuniornya, secara beriringan pakiah juga menjadi murid bagi gurunya.

Apa yang sudah dia dapatkan langsung diajarkan juga kepada adik-adiknya. Tertanam rasa sayang kepada yang kecil dan hormat kepada yang tuo, sehingga terbangun hubungan baradiak kakak atau guru tuo.

Proses pembentukan nilai itu mengantarkan pakiah menjadi lebih berwibawa atau matang setelah menjadi tuanku atau naik statusnya pasca pakiah. Meskipun masih usia muda, tetapi ketika kajinya sudah dihormati, tampilannya lebih berwibawa, katonyo badanga, pandainyo baturuik. Betapa bagus dan hebatnya proses perjalanan pakiah tersebut.

Pasca pakiah mereka mengaktualisasikan dirinya juga ke dalam berbagai profesi, di samping profesi utamanya sebagai penyiar agama Islam. Ada yang sebagiannya sudah memilih melanjutkan studinya ke perguruan tinggi, kemudian mengantarkannya juga pada berbagai profesi seperti guru, dosen, ASN dan berbagai profesi lainnya.

Profesi yang digeluti pasca pakiah itu sekarang juga sudah variatif dan beragam tergantung bakat dan minatnya masing-masing. Kalau diistilahkan pakiah itu bagaikan batang paranciah (pohon singkong), dimana pun terdampar atau berada selalu berperan dan eksis. Sebagai wujud dari hadits nabi Khairunnas anfaunnas, sebaik-baik manusia adalah bermanfaat bagi yang lain. InsyaAllah

Oleh Rahmat Tk Sulaiman, Pengasuh PonPes Bustanul Yaqin/ Alumni PPNY Ringan-ringan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun