Mohon tunggu...
Rahmat Setiadi
Rahmat Setiadi Mohon Tunggu... Buruh - Karyawan swasta yang suka nulis dan nonton film

Saya suka baca-tulis dan nonton film.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tasawuf Bergerak Modern

1 Januari 2023   01:09 Diperbarui: 1 Januari 2023   01:16 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bangkitnya kembali gairah terhadap tasawuf di Indonesia bermula di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung pada akhir 1970-an, dan terutama sekali dalam dekade 1980-an. Pelopornya adalah para sastrawan, seniman, sarjana ilmu agama, dan cendekiawan. Pendek kata kaum terpelajar yang tidak sedikit dari mereka adalah dokter, pengusaha, manajer, sarjana ekonomi, ilmu politik, falsafah, dan ilmuwan.

Fenomena pada akhir 1970-an dan awal 1980-an yang menandakan bangkitnya kembali gairah dan minat terhadap tasawuf. Pertama, mulai menerbitkan buku tentang tasawuf dan relevansinya.

Buku-buku ini sebagian besar merupakan terjemahan karangan para sarjana modern seperti Syed Hossein Nasr, AJ Arberry, Reynold Nicholson, Frithjof Schuon, Martin Lings, Syed M Naquib Al-Attas, Roger Garaudy, Annemarie Schimmel, Idries Shah dan lain-lain. Sebagian lagi terjemahan karya sufi klasik seperti Imam Al-Ghazali, Ibnu Arabi, Fariduddin Attar, Jalaluddin Rumi, Ali Utsman Al-Hujwiri, Muhammad Iqbal, dan lain-lain.

Penerbit-penerbit awal yang berjasa antara lain Pustaka Salman dan Mizan di Bandung, Pustaka Firdaus, Panji Masyarakat dan Bulan Bintang di Jakarta. Penerjemahnya adalah sarjana-sarjana yang baru kembali dari Amerika. Kita tahu pada awal tahun 1970-an minat mempelajari bentuk-bentuk spiritualisme Timur sangat marak di Barat.

Ledakan penerbitan buku-buku kearifan Timur termasuk tasawuf yang menyertai bangkitkan gairah. Survei yang dibuat IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia) tahun 1989 menyebutkan bahwa di antara buku yang paling laris ketika itu ialah buku-buku tasawuf. Buku Sastra Sufi: Sebuah Antologi yang saya karang dan diterbitkan pada tahun 1985 mengalami cetak ulang sampai 7 kali.

Mengikuti fenomena ini perbincangan tentang tasawuf dan sastra sufistik semakin ramai pada tahun 1980-an. Puncaknya ialah pada saat Festival Istiqlal diselenggrakan tahun 1991 dan 1995. Dalam festival budaya Islam terbesar yang pernah diselenggarakan di Indonesia ini, berbagai bentuk ekspresi seni yang lahir dari tradisi tasawuf dipergelarkan, termasuk pameran akbar seni rupa. Di antara ekspresi seni daerah yang berasal dari kreativitas para sufi ialah Tari Saman dan Seudati dari Aceh, Rebana Biang dan Rafa`i dari Banten, Tari Zapin Melayu, Pantil dan Sintung dari Madura, dan lain sebagainya.

Sastra dan lembaran-lebaran budaya di surat kabar ibu kota seperti Harian Berita Buana dan Pelita hadir di garis depan dalam upaya mereka memperkenalkan relevansi tasawuf dan kesusastraan sufi. Nomor-nomor awal majalah dan jurnal kebudayaan Islam terkemuka seperti Ulumul Qur'an juga menampilkan perbincangan tentang tasawuf dan relevansinya.

Pada akhir tahun 1980-an, pengajian-pengajian tasawuf mulai marak dilakukan di kota-kota besar seperti Jakarta. Misalnya yang diselenggarakan oleh Yayasan Wakaf Paramadina. Ini tidak mengherankan karena orang-orang yang berperan dalam pengajian tersebut sebagiannya adalah para redaktur atau editor Ullumul Qur'an.

Kelompok-kelompok uzlah dan mahasiswa juga memainkan peranan penting dalam memperkenalkan relevansi tasawuf. Terutama kelompok uzlah yang muncul di kampus masjid-masjid seperti Salman ITB, Salahuddin UGM, dan Giffari IPB (Institut Pertanian Bogor). Organisasi pelatihan-pelatihan mahasiswa pada akhir 1980an juga tidak jarang diisi dengan bahan-bahan yang berkaitan dengan ajaran sufi.

Di luar itu juga marak pengajian-pengajian seperti Pengajian Taqwa yang diselenggarakan di sudut-sudut pinggiran ibu kota. Tarekat-tarekat sufi seperti Naqsabandiyah, Qadiriyah, Tijaniyah, dan lain-lain yang dahulunya tersembunyi di kawasan-kawasan pinggiran kemudian merengsek keluar dan menampakkan kegiatannya di pusat kota.

Untuk memahami fenomena ini kita harus kembali melihat situasi tahun 1980-an. Sejauh menyangkut gerakan uzlah di kalangan mahasiswa tidak sukar dijawab. Sebagai dampak dari demo-demo anti pemerintah yang gencar dilakukan mahasiswa, pemerintah ketika itu melarang kampus menjadi ajang kegiatan. Organisasi ekstra universiter seperti HMI, PMKRI, GMNI, IMM, PMII dan lain-lain dihalau keluar dari kampus-kampus besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun