Orang Indonesia masih memegang prinsip nol fungsi pada barang. Kita tidak heran ketika melihat baju, kain menjadi keset, lap, bahkan sampai begitu lusuh sobek sana-sini masih saja digunakan hingga pada akhirnya dibuang atau dibakar.
Kita masih mendengar kata sayang pada pakaian, atau barang lainnya dengan dalih mubasir, buat kenang-kenangan, masih bisa dimanfaatkan untuk keperluan lainnya, dan banyak lagi alasan lainnya.
Maka tak heran kita kerap menemukan rumah yang terkesan berantakan, berisikan perabotan rumah yang tampak kusam, membosankan, dan membuat kita tidak betah berlama-lama di tempat tersebut.
Di sisi lain, kita akan betah, kagum, dan menilai orang yang rumahnya berisikan barang bagus enak dipandang, dan tampak tertata, bersih. Yang pada gilirannya mencerminkan penghuninya.
Tidak bisa dipungkiri, kita mungkin beranggapan bahwa faktor utama adalah ekonomi, kemampuan dari kebanyakan orang kita yang tidak menaruh kebutuhan barang baru sebagai kebutuhan utama. Kita masih berkutat pada pemenuhan kebutuhan dasar, makan dan minum.
Tapi, berapa banyak uang yang dikeluarkan perhari untuk jajan?
Kita bisa lihat di warung-warung, sebagai penghubung produsen terdekat dengan konsumen. Rentengan Snack, rentengan serbuk minuman instan, dan rentengan kebutuhan sehari-hari lainnya.
Belum lagi jajanan siap makan. Kue-kue kering dan basah, kerupuk, es-es, minuman kemasan, tukang-tukang jajanan/makanan yang mangkal, tukang makanan keliling, dan makin dipermudah untuk bisa menikmatinya.
Sejak lama kita dijejali dengan makanan-makanan, minuman-minuman, lalu kemudian kita dijejali oleh pakaian bekas, barang bekas, yang kini dilabeli dengan istilah second branded, preloved, import, baru sisa pabrik, baru produk lama.
Kita mungkin bertanya-tanya, begitu banyak perusahaan konveksi, garmen, yang memiliki banyak pekerja yang kita dengar mengatakan bahwa setiap hari bisa memproduksi sampai ribuan baju, celana, tas, berbagai macam.
Jika dibandingkan dengan jumlah kelahiran bayi pertahun, atau peningkatan populasi manusia, mungkin produksi pabrikan itu jauh melampauinya. Lalu untuk apa prinsip nol fungsi dipertahankan?
Termasuk saya, banyak orang identik belanja pakaian dalam rangka menyambut hari-hari besar yang diperingati banyak orang. Tapi pakaian yang dimaksud bukan pakaian harian.
Pakaian harian pasti berbeda dengan pakaian "formal", lalu mengapa pakaian formal yang dipakai untuk harian belum bisa dibiasakan? Kenapa juga pakaian harian masih dianggap yang penting pake baju, nutup aurat, padahal ketika ada tamu, ada orang yang terhormat, kita buru-buru ganti pakaian yang kita anggap layak, pantas?
Survei yang dilakukan oleh OnePoll dan Blue Diamond Almonds mengungkap ada empat dari 10 pencinta makanan yang rela menghabiskan $ 51 (Rp 725 ribu) per minggu untuk beli jajanan. Jika dirata-rata, foodies menghabiskan sekitar $ 3.300 (Rp 46,9 juta) dalam setahun. ( food.detik.com/info-kuliner )
Kebiasaan jajan tidak hanya pada orang usia anak dan remaja tapi juga pada orang usia dewasa, bahkan orang usia lanjut. Bukan hanya jajan, juga belanja pakaian yang didorong oleh bukan semata-mata kebutuhan pokok.
Kita akan jajan jika sering kumpul, baik dengan tetangga, organisasi, atau pada sesama hobi. Mau tidak mau akan ada gilirannya mentraktir atau pengeluaran  jajan dengan alasan apapun di luar tujuan berkumpul/bersosialisasi.
Terpaksa atau tidak, akan ada saja usulan pengadaan baju, seragam untuk tampil dalam rangka acara peringatan agama maupun nasional. Yang barang tentu bukan sebagai pakaian harian dan padahal, seragam yang ada masih bagus, layak pakai.
Lain lagi per-individu, Â ada yang tidak nyaman dalam pikirannya jika harus berfoto bersama namun mengenakan pakaian yang sama dengan foto bersama sebelumnya, padahal bersama dengan orang yang berbeda.
Beli pakaian baru biasanya selain karena perayaan hari-hari besar, juga karena adanya istilah fast fashion. Dalam hal ini, kita sering tergiur  mode dengan harga murah.
Berdasarkan laporan tahun 2017 dari Ellen MacArthur Foundation, terungkap lebih dari 50 persen pakaian fast fashion dibuang satu tahun setelah diproduksi.
"Secara keseluruhan, industri fesyen adalah salah satu sektor yang paling merusak lingkungan dalam ekonomi global, menggunakan energi dan air yang sangat besar serta mencemari planet kita," kata Erin Wallace, vice president of integrated marketing di ThredUp, sebuah situs yang menjual pakaian bekas.
Khusus di tahun 2018, industri fesyen dunia menyumbang 2,1 miliar metrik ton emisi gas rumah kaca. Angka itu setara dengan total emisi negara Inggris, Perancis, dan Jerman yang digabung menjadi satu.
Pada tahun yang sama, Environmental Protection Agency memperkirakan 11,3 juta ton tekstil yang sebagian besar berupa pakaian berakhir di tempat pembuangan sampah. (Kompas.com)
Perilaku jajan dan beli pakaian baru, tidak terlalu menurun meski di era pandemi. Perlu situasi apa lagi yang bisa menurunkan kebiasaan boros?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H