Mimesis atau meniru, sudah mengandung pengertian menyalin secara imajinatif kreatif. Berbeda dengan plagiat yang mengklaim hasil dari imajinasi orang lain.
Peniruan imaginatif didasarkan pada hakekat obyek-obyek estetis yang dapat mempengaruhi jiwa seseorang secara halus. Karya ( hasil imajinasi ) ini bukan kebenaran ilmiah yang didasarkan pada obyektifitas dan pembuktian logis, melainkan untuk menghadirkan kenikmatan estetis yang memiliki aspek sensual dan spiritual, bersifat sublim ( keindahan tertinggi ) dan membangkitkan kepekaan terhadap keindahan alam transendental ( semesta ).
Proses peniruan jiwa yang menyebabkan karya seni timbul dari hubungan obyek estetis dengan realitas yang bisa menghasilkan citra-an, bukan tiruan kasar terhadap obyek zahir, terumuskan dalam :
1. Efek hiasan, gaya tertentu/stilisasi ( tahsin )
2. Efek perusakan/deformasi dan
3. Balance dimensi jasmani ruhani.
Dari sedikit keterangan di atas, mungkin kita akan berusaha memahami apa yang kita baca dari banyak karya/tulisan yang sering disebut sastra, curhat, puitis, mistikisme, siloka, sufistik atau apalah istilah yang hanya dapat dimengerti oleh si penulis dan yang mau memposisikan dirinya sebagai si penulis tersebut.
Dengan kata lain mimesis/takhyil mengarahkan pada “satu” kenikmatan, bukan pada realisme, naturalisme, materialisme atau isme-isme lainnya. Kadang kita sulit menerjemahkan “Apa sih maksud tulisan/ karya kamu?” Namun karya itu mengundang rasa tertentu.
Seperti ungkapan, “ Kupanggil tak terhitung bayang-bayang”
Orang yang terlanjur masyuk dengan imajinya, bakal terheran-heran saat kembali melihat dunia ini, karena hanya ada kegilaan, hal yang mencirikan seorang sastrawan atau bahkan kritikus sastra. Tapi satu yang perlu ditekankan, mengutip WS. Rendra yang mengatakan, “Perubahan yang hanya berganti dari sampah ke sampah, mana mungkin bisa didiamkan?”.
Ada kalanya kita perlu menjaga jarak dari “sur-realism” agar tidak canggung saat berurusan dengan yang real, realisme, saat sekarang, yang terbukti “Tidak ada keindahan/kenikmatan”.
Seperti halnya otak dan jiwa, aksara pun bernyawa, yang terbaca dengan yang terbayang bisa saja berbeda. Anda menulis serius, tapi yang baca bisa tertawa, bisa sedih, bahkan bisa mempengaruhi otak dan jiwa pembacanya. Dan pada mimesis, kenikmatan bertuhan mampu menambah keyakinan keberadaan-Nya yang tidak bisa dinikmati oleh semua manusia yang tidak diberikan anugrah tertentu. Seperti ungkapan, “Hanya wali yang tahu kewalian”.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H