Ini menarik! Sebelumnya yang saya ketahui sejak lama warung-warung yang buka 24 jam itu saya kenal dengan sebutan warung Kuningan dan warung Batak. Lalu menu lonceng kompasiana memberitahukan perihal warung Madura. Wow! Kok, kebetulan sekali aku punya catatan perihal warung yang menyentuh etnisitasÂ
Aku tinggal di perumahan yang belum berumur 15 tahun sejak pembangunan pertama kali dan sudah 12 tahun menempatinya. Sekitar tahun 2010 belum ada mini market A or I, yang ada dua mini market milik perorangan dan warung-warung kecil rumahan yang bisa dipastikan ada di tiap gang. Yah! Mereka sama dengan saya maupun penghuni lainnya, masih baru menghuni perumahan baru.
Tidak sampai tiga tahun, kedua  toko dan warung-warung rumahan bisa dikatakan bangkrut karena hadirnya dua mini market yang me-nasional dengan layanan 24 jam. Sebelumnya, warung layanan 24 jam yang saya ketahui adalah warung Kuningan.
Orang Kuningan ( Kabupaten Kuningan, Jawa Barat ) punya ciri khas dalam berdagang. Seperti halnya warteg, mereka tersebar di banyak kota. Tempat dagangnya berupa, saya menyebutnya gerobog dagang, mirip gerobak tertutup dan beratap yang panjangnya tidak lebih dari 2,5 meter dengan lebar tidak lebih dari satu meter, bisa dipindah tempatkan dan pedagangnya tinggal di gerobog itu. Mudah ditemukan di pinggir jalan yang ramai lalulintasnya. Â
Seiring waktu, keberadaan mereka kian berkurang. Bisa jadi kena penertiban PKL, bisa juga karena larangan dikarenakan ada warga asli sekitar yang membuka warung, atau bisa jadi kalah dengan pamor mini market nasional yang berani kontrak tempat ratusan juta. Setelah warung Kuningan kemudian muncul warung Batak.
Sepengetahuan saya tidak semuanya orang Batak, Sumatera Utara, iya. Setidaknya di perumahan saya tinggal warung Batak ini tidak hanya menjual sembako, tapi juga sayuran. Meskipun tukang sayur keliling sudah ada dan pasar kaget ( hanya pagi hari ) di bundaran dalam komplek juga sudah ada, tapi setidaknya ada lima warung Batak baru buka, ada yang memang penghuni tetap, ada yang ngontrak rumah. Namun sekarang hanya satu yang masih bertahan di rumahnya dan satu di bundaran, keduanya penghuni tetap.
Belum satu tahun ini muncul warung Madura. Saya yang berdekatan dengan warung itu bisa memastikan bahwa warung itu laku keras. Rumah tipe 36 yang seluruh bagian terasnya direnovasi menjadi warung itu penuh sesak dengan dagangan, yang dikenal dengan istilah warung kelontong. Bisa dikatakan serba ada, kecuali sayuran.
Warung kelontong Madura buka 24 jam, tidak pernah tutup. Pemilik rumah sekaligus pedagang memang orang Madura. Mereka memiliki pelayan yang bergiliran melayani, jaga toko. Dan sepertinya pelayan itu mengalami rotasi tugas. Satu-dua bulan berganti orang lalu dua bulan berikutnya saya temui orang yang sama.
Menurut pengamatan saya terhadap warung-warung yang membawa nama daerah ini merupakan organisasi semacam paguyuban atau kelompok usaha yang sengaja dibentuk. Ini terbukti dari cekatan dan hafalan terhadap harga pada begitu banyak macam jenis dagangan yang beragam mereknya. Meskipun ada catatan petunjuk harga tapi tampak pengalaman dan  produk knowledge-nya tidak mencerminkan mereka orang yang baru terjun di dunia dagang.
Warung Madura di sini terkenal lebih murah dari warung lainnya, bahkan banyak produk yang harganya sama dengan harga agen. Cepat tanggap dan cepat hitungannya menjadi nilai tambah selain harga murah.
Yang menjadi sedikit merisaukan adalah warung mepet dengan jalan umum dan  perilaku pembeli yang belanja dengan parkir sepeda motor tidak tertib. Namun begitu, tidak pernah ada kles ataupun protes dari pengguna jalan lainnya.  Demikian sekilas tentang warung kelontong Madura.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H