Meski keduanya tetap mendorong pada pengelompokan gagasan, namun jurnalis profesional yang mendatangkan periklanan tidak selalu mengacu pada gagasan, ini tergantung pada "pemilik" media. Â Biasanya mempertimbangkan bobot bahasa yang bisa diterima banyak pembaca. Sementara jurnalis umum/citizen jurnalis memakai media dan bahasa bebas menurut kemauan diri/ idenya.
Media sebagai wadah profesional ( kumpulan gagasan ) bisa mempengaruhi banyak orang hingga membentuk satu ide, bahwa media ini mengacu pada gagasan tertentu, sementara media lainnya dengan ide tertentu lainnya.
Sekarang ini dan entah kedepannya sampai kapan, populasi jurnalis kian banyak namun jumlah media kian mengerucut, hingga terjadi penyempitan, pengelompokan gagasan.
Â
Anda harus memilih sebagai Citizen media A atau citizen media B, anda netizen pihak penggagas C atau penggagas D. Atau anda tidak sebagai pihak manapun, hingga anda disebut penggagas E. Yang menjadikan bahwa keberpihakan dan pengelompokan tidak bisa dihindari.
Gagasan semakin terkebiri dengan lahirnya istilah plagiat, hak intelektual, hak cipta, ataupun istilah sejenis semakna. Jika demikian adanya maka jurnalistik yang profesional hanya memperhatikan gagasan sebagai produk komersil matrialis yang hanya mengacu pada regulasi penguasa, sebagai mitra pengusaha media. Yang tidak bisa tidak justru mengingkari hak ber-ide, bergagas, berpendapat.
Hegemoni media pun menghasilkan hegemoni politik, ekonomi, ideologi. Anda akan berpaling, atau diliput oleh media tertentu yang sepemahaman dengan gagasan yang mereka usung.
Bisa jadi tak ada istilah kebetulan, tak disangka, ujug-ujug ada, kenyamanan membuat kita untuk menuliskan sesuatu yang pada gilirannya sampai pada orang lain juga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H