Saya baru sadar betapa pentingnya teknik menulis. Tidak hanya tentang tanda baca, lebih jauh lagi tentang penguasaan ragam bahasa. Kata yang biasa bisa menimbulkan kesan luar biasa. Kisah yang kita anggap biasa bisa terbaca oleh orang sebagai kisah inspiratif, edukatif. Dari sini saling isi tercipta.
Berapa banyak cerita tentang lahir tercipta? Tentang belajar, sekolah, berumahtangga? Atau dengan kata lain yang familiar di Kompasiana ini dengan tema yang setiap harinya dieksplorasi sangat bervariasi menghasilkan kisah, cerita, tulisan yang luar biasa.
Kita yang bukan siapa-siapa, dalam pandangan pribadi masing-masing, bisa tampak begitu luar biasa dengan hasil karya yang kita angkat dari pengalaman. Pengalaman berpikir, pengalaman berbuat, pengalaman berniat, pengalaman bermunajat, pengalaman yang kita saksikan, pengalaman yang kita alami, bahkan kita mampu membuat pengalaman-pengalaman yang belum terjadi yang memungkinkan kita alami.
Â
Teramat banyak ablasi kehidupan yang tidak akan pernah habis untuk ditulis. Walaupun harus kembang kempis yang penting tetap menulis. Oke!
Saya memberanikan diri dengan istilah ablasi untuk judul tulisan ini. Mungkin bisa saja saya disalahkan karena ablasi identik dengan istilah medis pada gangguan kesehatan jantung. Mungkin, dan saya berharap, ada kompasianer yang memberi tanggapan tentang hal ini.
Â
Bisa jadi Ablasi tulisan tidak ditemukan ketika kita searching, ini hanya istilah yang saya gunakan bahwa metabolisme menulis bebas, sebebas kita memaknai suatu kata tergantung pada kalimat yang mengiringinya. Ini juga bisa jadi tidak tepat.
Dan sekali lagi sepertinya perlu ditegaskan, bahwa kita perlu keberanian untuk tidak dalam bayang-bayang tulisan orang lain. Tulis, dan kirim! Biarkan pembaca memproyeksikan tulisan kita menurut persepsi mereka.
Â
Sementara demikian, lain berita kosong. Kembali standby, 86.