Kehadiran sosok Joko Widodo dalam perpolitikan nasional secara ansih memang bisa menjadi berkah bagi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Betapa tidak, sosoknya yang punya kesan lugu dan jujur itu saat ini menjadi fenomena sehingga selalu merajai tingkat elektorl dalam berbagai survey sebagai capres paling potensial.
“Berkah” juga buat PDIP karena sosoknya juga ikut menjadi salah satu faktor yang secara electoral bisa mendongkrak suara partai. Citranya sebagai pemimpin yang prorakyat dengan blusukan diakui atau tidak telah menyita perhatian dan menjadikan public yang melodramatic (meminjam istilah yang dipopulerkan Sukardi Rinakit) yakni mudah bosan, mudah lupa, dan mudah memaafkan, menjadi jatuh cinta atas sosok kefigurannya.
Tanpa harus berpikir apakah Indonesia akan lebih maju ketika dipimpin Jokowi, apakah sosok yang baru menjabat setahun lebih sebagai Gubenur DKI Jakarta itu mampu menjadi pemimpin tertinggi di Negara ini, masyarakat seperti dibius dengan rasa “suka”.
Itulah tipologi masyarakat Indonesia saat ini, yang menjadikan “rasa” sebagai preferensi dalam memberikan pilihan politiknya. Maka tak heran ketika “mabok” Jokowi saat ini sedang melanda masyarakat kita. Itu bisa terbukti dengan angka-angka elektabilitas Jokowi dalam berbagai survey yang terus melejit.
Masyarakat Indonesia, kalau sudah “suka” terhadap sosok tertentu tentu susah untuk berpaling. Meskipun diberikan penjelasan panjang lebar soal kepentingan bangsa ke depan, mereka tetap tak akan bisa menerima karena memang faktor “ketersukaan” sudah masuk di sanubari. Sudah jatuh cinta dan yakin bahwa Jokowi adalah pemimpin yang bisa dipercaya dan bisa memimpin bangsa Indonesia ke depan sehingga atas keyakinan itulah pada umumnya masyarakat pemilih atas dasar kesukaannya terhadap Jokowi akan memberikan pilihannya ketika pria kurus asal Solo itu dicalonkan sebagai calon presiden (capres) dalam Pilpres 2014 menadatang.
Sebagai bukti bagaimana sosok Jokowi merajai elektabilitas dalam survey belakangan ini adalah; dalam survey terakhir yang dilakukan Indo Barometer elektabilitas Jokowi mencapai 35,8%, jauh meninggalkan kandidat capres lainnya. Kemudian dalam survey terakhir Pol-Tracking elektabilitas Jokowi sebesar 37%. Bahkan, dalam survei Kompas, elektabilitas Jokowi mencapai 43,5%.
Jokowi dalam survei-survei tersebut juga membawa efek positif bagi PDIP dalam hal electoral. Angka perbandingannya bisa mencapai diatas 10% pengaruh elektabilitas PDIP ketika mencalonkan Jokowi sebelum pemilu legislatif (pileg).
Namun, itu semua hanya angka-angka saja, yang belum tentu menjadi realita. Sosok Jokowi yang dalam pilkada DKI Jakarta bisa mengelebuhi lembaga survey yang tidak begitu jeli melihat tipologi masyarakat pemilih sebagai responden tentu tidak menjadi jaminan bahwa angka dalam survey selaras dengan kenyataan ketika nanti Jokowi benar-benar dicapreskan. Belum lagi kalau dikaitkan dengan tipologi masyarakat Indonesia yang melodramatic (mudah lupa, mudah bosan, dan mudah memaafkan). Artinya, merujuk pada karakter pemilih yang demikian itu tentu sangat mungkin dalam waktu tertentu juga akan bosan terhadap fenomena Jokowi. Apalagi yang memang ke-melejit-an tingkat elektabilitasnya sangat mungkin karena faktor fipologi masyarakat yang sudah “bosan” dengan figur Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Di sinilah, sampai detik ini, Ketua Umum DPP PDIP Megawati Soekarnoputri, yang menjadikan partainya sebagai partai ideologis, mau tak mau perlu diberikan apresiasi karena bagaimanapun tidak terjebak pada tingginya elektabilitas, yang menurut bahasa Eva K Sundari elektabilitas adalah selera pasar. Megawati tak bergeming dengan pendiriannya bahwa untuk memilih pemimpin, apalagi untuk Negara sebesar Indonesia tak hanya dengan pertimbangan elektabilitas. Karena itu, betapa banyak lembaga survei sepertinya menggoda agar PDIP segera menetapkan Jokowi sebagai capres karena elektabilitasnya yang tinggi dan PDIP akan mendapatkan berkah besar atas efek pencapresan Jokowi itu, Mega (sampai sejauh ini) tetap tidak tergoda.
Dalam suatu kesempatak Mega menyatakan bahwa dirinya menyadari elektabilitas kadernya itu yang tinggi. Tetapi, Mega terhadap Jokowi yang juga ada dalam kesempatan itu menyatakan agar jangan “mongkok” dulu.
Sebagai “partai ideologis” tentu PDIP menghadapi dilema apakah harus tunduk pada tekanan hasil survei yang sudah “men-cekok-i” publik melalui angka elektabilitasnya, atau konsisten dengan pertimbangan ideologisnya, dalam arti siapapun yang ditetapkan sebagai capres sudah berdaasarkan kualitas dan kredibilitas, serta kemampuan memimpin Indonesia kedepan. Atau, kalaupun nantinya menetapkan Jokowi sebagai capres juga tak sekedar elektabilitas, yang sangat mungkin ketika elektabilitas itu lahir hanya dari ketersukaan masih berpotensi anjlok seketika akibat tipikal pemilih yang mudah bosan. Karenanya, PDIP sangat logis dan masuk akal ketika dalam menghadapi dinamika tersebut sangat dilematis.
Lebih dilematis lagi adalah faktor “ketidaksadaran” structural kader PDIP, terutama di tingkat DPD, dan khususnya lagi di tingkat DPC yang ikut larut dalam arus fenomena Jokowi. Mereka kader dari daerah yang secara lantang ikut bersuara dalam Rakernas di Ancol September 2013 lalu dan mendukung agar Jokowi segera ditetapkan sebagai capres tentu tidak mau ribet dengan pertimbangan-pertimbangan yang “njlimet”. Pada umumnya mereka hanya bisa mengatakan bahwa kader atau arus di bawah menginginkan Jokowi sebagai capres.
Dalam kondisi partai yang besar karena faktor ideologi, yang bisa bersatu dengan faktor Mega sebagai trah Bung Karno yang sekaligus diyakini mewarisi konsistensi ideologisnya, tentu dilematis ketika kadernya larut dalam fenomena politik yang mengedepankan selera pasar. Para kader dari daerah tentu dalam perkembangannya ke depan, jika memang Jokowi ditetapkan sebagai capres, dan menang, mereka akan dengan mudah juga terbawa arus politik ketika ada tekanan dari opini public melalui survey-survei, agar Jokowi diusung menjadi ketua umum PDIP. Tanpa harus mempertimbangkan apakah Jokowi mampu memimpin dan menjadi pemerasu di PDIP atau tidak, yang penting sedang suka dengan sosok kefigurannya.
Mengacu pada dinamika sebagaimana terlihat dalam Rakernas lalu, juga komentar beberapa kader PDIP soal pencapresan Jokowi, yang cenderung argumennya larut dalam fenomena, tentu dilemma yang sangat mungkin sedang dikhawatirkan itu akan terjadi, jika PDIP pada akhirnya mengusung Jokowi sebagai capres, dan menang, kemudian ada yang mendorong sebagai ketua umum PDIP ke depan.
Dan jika itu yang terjadi, pembaca akan percaya atau tidak, penulis meyakini di situlah akan berakhir era keb-besar-an PDIP sebagai partai ideologis, yang dalam sillsilahnya adalah penerus dari PNI yang didirikan oleh Bung Karno, juga yang sampai sekarang ini masih punya pengikut kuat, dan yang percaya bahwa hanya trah Bung Karno lah yang bisa menjadi pemersatu memimpin PDIP, ke depan.
Jadi, calonkanlah Jokowi, kalau memang benar-benar sudah dipercaya. Bisa dipercaya bisa memimpin Indonesia ke depan, dan dipercaya tetap menjadi bagian dari aktor pengejawantahan ideologi partai, bukan sebaliknya. Jika memang hingga mendekati waktunya kepercayaan itu belum juga meyakinkan keselamatan ideologi, sebaiknya juga untuk tak ragu tidak mencalonkannya meskipun akan mendapatkan hukuman sesaat dari pemilih. Karena kalau memang Jokowi adalah kader yang mengejawantahkan ideology perjuangan partai tentu sinar kemutiaraannya juga tak akan luntur jangankan hanya hingga 2019 mendadtang. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H