Mohon tunggu...
Rahmat Sahid
Rahmat Sahid Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis

Wong Kebumen, ceker nang Jakarta, kandang nang Bekasi, Penulis Buku Sisi Lain pak Taufiq & Bu Mega, Penulis Buku Ensiklopedia Keislaman Bung Karno

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Presidennya Jokowi, Kenapa Marahnya ke Megawati?

29 Januari 2015   06:56 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:10 1470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dinamika politik belakangan ini, atau persisnya setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengajukan calon tunggal kapolri Komjen Pol Budi Gunawan memang tak bisa dipungkiri ada semacam satu tarikan nafas antara politik dan hukum. Sulut dilihat ada satir antara mana yang politik dan mana yang murni hukum, mengingat antara kasusnya dan sang aparat penegak hukumnya juga ada irisan politik yang begitu terang benderang.

Betapa sulitnya untuk tidak disimpulkan bahwa ada "perselingkuhan politik dan hukum" dalam polemik calon kapolri, ketika dalam hitungan dua hari paska nama Budi Gunawan diajukan ke DPR oleh Jokowi, lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkannya sebagai tersangka. Apa yang dilakukan KPK, betapapun berdalih murni sebagai proses hukum, tetapi sulit terbantahkan mereka tidak main politik.

Sebab, secara psikologis, jelas apa yang dilakukan KPK itu semacam masuk pada ranah percaturan politik ketatanegaraan mengingat nama Budi Gunawan sudah diajukan ke DPR untuk dimintakan persetujuan. Dan pada saat bersamaan, DPR juga sedang melakukan tahap awal fit and proper test terhadap calon kapolri yang pernah menjadi ajudan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri itu.

Kalau memang KPK berdalih bukti pidana yang dilakukan Budi Gunawan sudah kuat, kenapa juga penetapan tersangkanya dilakukan saat berlangsungnya proses ketatanegaraan. Tidak jauh hari, atau setidaknya sebelum nama Budi diusulkan ke DPR. Apalagi, kasus yang disangkakan kepada Budi juga sudah bergulir sejak 2010 lalu. Bahkan, mantan Kepala PPATK Yunus Husein dalam akun twitternya juga menulis bahwa nama Budi Gunawan sudah diberikan tanda merah oleh KPK saat Presiden Jokowi memasukkan namanya sebagai salah satu menteri.

Asumsinya, KPK sudah punya bukti pelanggaran pidana yang dilakukan Budi Gunawan. Tetapi kenapa juga KPK menetapkannya sebagai tersangka manakala nama Budi diajukan ke DPR sebagai calon kapolri?

Di situlah muncul asumsi-asumsi serta penafsiran liar bahwa ada pimpinan KPK yang "main politik". Asumsi itu kemudian seperti mendapatkan konfirmasi ketika Plt Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengungkap dugaan lobi politik Ketua KPK Abraham Samad, yang dikatakannya seperti ada dendam politik karena menganggap Budi Gunawan yang menggagalkannya sebagai cawapres pendamping Jokowi menjelang Pilpres 2014 lalu.

Benar saja bahwa dinamikanya menjadi semakin keruh dan cenderung panas. Sehari paska Hasto Kristiyanto menggelar konferensi pers terkait dugaan lobi politik Abraham Samad, Bareskrim Mabes Polri menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto, setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan terlibat kesaksian palsu di sidang Mahkamah Konstitusi (MK) dalam posisi Bambang sebagai pengacara terkait pelaksanaan Pilkada di Kotawaringin Barat.

Kasus penangkapan BW itu membumbui kekhawatiran publik akan kembali terjadinya kasus Cicak versus Buaya (KPK versus Polri) sebagaimana pernah terjadi di kepemimpinan KPK periode sebelumnya.

Terlebih, sebelumnya polemik mengenai dua lembaga itu juga sebenarnya sudah tersulut manakala Presiden Jokowi ternyata menunda pelantikan Budi Gunawan yang telah disetujui oleh DPR. Keputusan Presiden Jokowi itu memang awalnya dianggap tepat mengingat bagaimanapun Budi Gunawan telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Penundaan pelantikan terhadap Budi Gunawan yang sekaligus dibarengi dengan pemberhentian Kapolri Jenderal Pol Sutarman tersebut juga ternyata sedikit banyaknya ikut membumbui spekulasi polemik di internal Polri. Apalagi, disaat yang hampir bersamaan, selain Jokowi memberikan tugas kepada Wakapolri Komjen Pol Badrodin Haiti untuk melaksanakan tugas-tugas kapolri, terjadi rotasi di jajaran Bareskrim dimana Komjen Pol Suardi Alius yang sebelumnya menduduki Kabareskrim dimutasi, dan posisinya digantikan Irjen Pol Budi Wasesa yang dianggap orang dekat Budi Gunawan.

Sampai disini, Presiden Jokowi seperti semakin mendapatkan tekanan. Padahal, mungkin saja berlarutnya polemik itu lantaran tidak diambil sikap tegas oleh Presiden. Katakanlah jika tidak mau melantik, maka batalkanlah pencalonan Budi Gunawan, meskipun sudah disetujui DPR. Atau bisa saja Presiden Jokowi langsung melantik Budi Gunawan, dan di hari yang sama menonaktifkannya agar fokos menjalani proses hukum di KPK.

Nyatanya, keputusan itu tak diambil oleh Presiden Jokowi. Baik keputusan membatalkan, maupun keputusan melantik. Justru menunda dengan tanpa ada waktu yang jelas.

Itulah yang sangat mungkin menjadikan polemik KPK dan Polri ini berkepanjangan, hingga pada akhirnya Presiden Jokowi seperti hendak meniru Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan membentuk tim independen.

Sebagai Presiden yang punya kewenangan, dan juga punya hak prerogatif, Presiden Jokowi memilih untuk menggunakan "tangan kekuasaan" pihak lain yakni tim independen, sebelum mengeluarkan keputusan, yang apa itu nanti akan diputuskan.

Dari pembiaran kondisi yang terus berpolemik itu, sebenarnya kalau mau jujur dan fair, kita bisa menilai bahwa Presiden Jokowi telah me-mubazir-kan energi anak bangsa dalam setengah bulan hanya untuk ikut larut dan seolah menempatkannya dalam polemik tersebut. Arus publik, yang mungkin secara tak sadar ikut larut dalam garis demarkasi yang begitu keran dalam dukung mendukung.

Dan tragisnya, dalam polemik itu, sadar atau tak sadar Presiden Jokowi seperti melakukan pembiaran, atau bahkan bisa dikatakan menjadi triger arus opini publik untuk ramai-ramai menyalahkan Megawati Soekarnoputri.

Suara yang mengatasnamakan publik itu dengan suara kencang dan keras meminta Presiden Jokowi untuk membuktikan bukan bonekanya Megawati. Di sebelah sana, tidak sedikit juga yang mengecam Megawati dengan anggapan bahwa putri Bung Karno itulah yang memaksakan kehendak untuk mencalonkan Budi Gunawan sebagai kapolri.

Memang, boleh jadi Megawati memberikan semacam masukan terkait figur calon kapolri. Apalagi, Budi Gunawan adalah mantan ajudannya. Tetapi, presidennya adalah Jokowi. Yang melekat padanya kewenangan dan hak prerogatif unntuk menentukan. Kalau kemudian ada kebijakan dan keputusan yang dinilai publik sebagai hal negatif, kenapa tidak dengan tegas menepuk dadanya sendiri bahwa itulah keputusannya yang siap dipertanggungjawabkan.

Dengan kondisi seperti sekarang ini, yang sentimen negatifnya dialamatkan semuanya kepada figur Megawati, meskipun Presdennya adalah Jokowi, lalu mau mulai kapan Presdien bisa mengambil suatu keputusan yang dengan segala konskuensinya siap dipikul dan dipertanggungjawabkan? Bukan malah mengarahkan opini kesalahan pada figur yang meskipun memberikan masukan tetapi hingga saat ini belum bersuara sepatah kata pun soal polemik yang terjadi?

Tepatkan kita marah kepada Megawati yang sudah membukakan jalan bagi pemimpin yang kedatangannya banyak dianggap sebagai pemberi harapan perbaikan? Bukankah semuanya juga akan kembali kepada bagaimana keputusan Presiden Jokowi? Lalu kenapa marahnya kepada Megawati, yang sampai saat ini masih diam? Tidak adakah orang di sekeliling Presiden yang setiap hari memberikan bisikan yang patut ikut disalahkan? Atau kenapa juga tidak menyalahkan ketidaktegasan Presiden Jokowi atas semua polemik ini?

Tanpa bermaksud membela Megawati, tetapi kalau tujuannya untuk menekan, mengalamatkan setiap kesalahan kepadanya, mungkin yang terjadi saat ini belum seberapa dibandingkan tekanan yang pernah dialami Megawati sejak remaja, hingga ketika mulai aktif berpolitik di rezim Orde Baru lalu.

Dan yang juga patut dicermati, dalam kondisi Megawati ditekan, memang sudah menjadi kebiasaan dia akan diam. Tetapi, sejarah juga sudah membuktikan bahwa dia politikus yang punya intuisi lebih dalam bersikap dan memilih momentum.

Belum terlambat bagi Presien Jokowi untuk bisa menunjukkan ketegasan leadershipnya dan memperbaiki kinerja bersama kabinet kerja yang sejak awal menggunakan jargon Kerja! Kerja! Dan Kerja.

Belum terlambat juga untuk tidak terus membiarkan atau bahkan ikut menciptakan suasana dan dinamika politik yang cenderung melimpahkan kesalahan kepada Megawati.

Selamat bekerja, Pak Jokowi.....!

Ibu Megawati, terus kawal pemerintahan ini agar sesuai Nawacita dan Trisakti...!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun