Al-hikmah al-muta'aliyah merupakan kajian filsafat islam yang dibawakan oleh sosok filosof muslim yang bernama Mulla Shadra. Kajian filsafatnya adalah sebuah Magnum Opus yang memberikan sumbangsih besar bagi khazanah intelektual islam.Â
Aliran filsafat ini disamping memberikan warisan pemikiran yang khas, filsafat islam ini juga dianggap sebagai yang menjembatani antara pemikir-pemikir filsafat dan doktrin-doktrin suci agama, yang berarti antara agama pada satu sisi dan pemikiran logis filsafat pada sisi lain.
Hal ini tergambarkan dimana istilah al-hikmah al-muta'aliyah itu menghimpun bagian burhani, irfani, dan bayani yang memang pada saat itu menjadi perdebatan edan dalam penerimaan terhadap kajian filsafat, mulla sadhra memang sengaja menciptakan filsafatnya agar bisa diterima diberbagai kalangan, baik kaum syiah maupun kaum suni, baik ahli filsafat itu sendiri maupun ulama-ulama kalam, fiqh dan kaum awam.
Trancendent theoshopy (al-hikmah al-muta'aliyah) adalah sejenis hikmah atau falsafah yang memang dilandakan pada fondasi metafisika, yang diperoleh melalui intuisi, dan diformulasikan secara rasional dengan menggunakan argumen-argumen yang rasional dan direalisasikan dengan mengikuti aturan syariat.
Â
Konsep al-himah al-muta'aliyah mulla shadra
Â
Istilah al hikmah al-muta'aliyah terdiri atas dua kata, yaitu al-hikmah yang berarti kebijaksanaan, dan al-muta'aliyah yang berarti transenden, secara harfiyah, al-hikmah al-muta'aliyah dapat diterjemahkan sebagai teosofi transenden atau puncak kebijaksanaan (gunawan, 2019)
Aliran filsafat islam yang dibawa mulla sadra dianggap sebagai sintesa dari filsafat islam sebelumnya; Masyain (paripatetik) dan isyraqiyyin (illuminasi). Yang dimana paripatetik sebagai filsafat islam yang mendasar kan prinsipnya pada bentuk silogisme Aristotelian yang sangat rasional, seperti ibn sina yang tidak akan membicarakan suatu persoalan yang tidak terbukti secara rasional.Â
Di hal lain Shuhrawardi dengan mazhab illuminasinya yang berporos pada neoplatonis menyakini bahwa pengetahuan dengan segala sesuatu yang terkait dengannya hanya bisa dicapai melalui syuhudi atau intuisi dan proses itu hanya bisa di capai dengan melakukan upaya elaborasi rohani.
Al-hikmah al-muta'aliyah yang di anggap sebagai sintesis dari dua paham tersebut, mulla sadra beranggapan bahwa baik akal maupun intuisi keduanya merupakan dualitas yang tidak bisa dipisahkan dalam filsafat.Â
Menurut mulla sadra ada tiga prinsip  bagi manusia untuk mendapatkan suatu pengetahuan: wahyu (syar'i), akal (istidlal) dan intuisi ( dzawq atau isyraq) ke tiga prinsip itu yang dapat merumuskan manusia bisa sampai pada pengetahuan tentang puncak kebijaksanaan (al-walid, 2005)
Adapun pokok-pokok pembahasan dalam al-hikmah al-muta'aliyah yang di kemukakan oleh mulla sadhra secara khusus adalah sebagai berikut:
Â
1. Ashlatul wujud wa I'tibariyatul mahiyat ( kehakikian eksistensi dan suatu penisbatan entitas ) bahwa wujud merupakan ungkapan untuk realitas secara mutlak. Di luar dari itu, yakni segenap ungkapan dan konsep lain yang terdapat dalam perbendaharaan bahasa manusia, yang dalam istilah para filosof islam disebut mahiyyah- yang itu merupakaan rekaan manusia (I'tibariyyah).Â
Semua konsep selain wujud hanyalah batasan konseptual atau ilustrasi dari wujud. Dalam hal ini suatu esensi tidak memiliki dirinya sendiri dan apapun yang ada padanya adalah karena hubungan dengan eksistensi, sedang eksistensi bersifat nyata berkat manivestasi dan hubungan nya dengan eksistensi mutlak, yaitu tuhan.
2. Tasykikul wujud (Gradasi Eksistensi) adalah wahdatul wujud dalam aspek pluralitas. Hakikat dari wujud yang paling dalam adalah adanya satu kesatuan, sedangkan fenomena yang tampak sebagai keragaman adalah penampakan luar dan sesuai dengan cara manusia memandangnya.
3. Harokah al-jawhariyah (gerakan substansi) adalah gerakan yang menuju pada suatu titik final ketuhanan. Akan tetapi gerakan ini harus melalui suatu hubungan subyek dengan obyek. Dalam hal ini subyek merupakan ruh, jiwa maupun akal, sementara obyek adalah pengetahuan yang di terka melalui panca indra.Â
Jadi pergerakan ruh manusia dideterminasikan oleh obyek-obyek pengetahuan yang diterka oleh indra sebagaimana badan atau tubuh ditentukan oleh gizi. Semakin baik gizi maka semakin baik pula tubuh ataupun sebaliknya.
4. Al- asfar al-arba'ah merupakan perjalan menuju tuhan melalui empat cara:
Minal kholiq ilal haq (perjalanan dari makhluk menuju allah) dalam hal ini kita meninggalkan realitas, menembus tirai pembatas, menuju tak terbatas.
Bil haq fil haq (bersama yang haq kedalam haq) menikmati tuhan, menyelami samudra hakikat dalam kesempurnaan dan sifat-sifat nya.
Minal haq ilal kholq (perjalanan dari al-haqq dan dengan al-haq menuju makhluk) maksud nya kembali ke tengan semesta nyata, namun bentuk bathiniyah nya tak pernah tergoda apapun, hanya tuhan saja yang bersemayam dalam jiwa, melihat segala sesuatu merasakan kehadiran tuhan saja disemesta raya ini.
Fil khalq bil haqq (dalam makhluk dengan kholik) mewarnai dunia dengan citra ilahi, membantu manusia lain nya berlayar menuju sang maha ada.
Kesimpulan.
Al hikmah al-muta'aliyah secara epistemologi di sandarkan pada tiga pondasi: intuisi, akal, dan syariat. Sedangkan hikmah merupakan kebijaksanaan yang diproleh lewat pencerahan ruhaniah atau intuisi dan disajikan dalam bentuk rasional dengan menggunakan argumen-argumen rasional.Â
Bahwa hikmah disini bukan hanya sebuah pencerahan kognitif tetapi juga tetap dalam ruang realisasi, yang mengubah wujud penerima pencerahan itu merealisasikan pengetahuan sehingga terjadi transformasi wujud yang murni, selain itu dalam sisi ontologis,Â
al-hikmah al'muta'aliyah mengajak kita dalam dimensi uluhiyah yang membumi dengan menyebarkan hikmah dan sifat-sifat ilahiyah yang murni nan suci.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H