Pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi setiap hari. Namun, ketersediaan pangan di dunia menghadapi berbagai tantangan, seperti pertumbuhan penduduk, perubahan iklim, degradasi lahan, dan konflik penggunaan lahan. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), sekitar 690 juta orang di dunia masih mengalami kelaparan pada tahun 2019, dan angka ini diperkirakan akan meningkat akibat pandemi Covid-19. Untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) nomor 2, yaitu menghapus kelaparan, mencapai ketahanan pangan, meningkatkan gizi, dan mendorong pertanian berkelanjutan, diperlukan upaya bersama dari semua pihak.
Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui restorasi hutan tepi sungai (riparian forest). Hutan tepi sungai adalah hutan yang tumbuh di sepanjang aliran sungai atau badan air lainnya. Hutan ini memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan menyediakan berbagai manfaat bagi manusia dan lingkungan. Beberapa manfaat hutan tepi sungai antara lain:
- Menjaga kualitas air. Hutan tepi sungai dapat menyerap polutan dan nutrien berlebih yang terbawa oleh air permukaan, sehingga mengurangi pencemaran air. Selain itu, hutan tepi sungai juga dapat mencegah erosi tanah dan sedimentasi di sungai, yang dapat mengganggu habitat ikan dan biota air lainnya.
- Menyediakan habitat bagi keanekaragaman hayati. Hutan tepi sungai merupakan rumah bagi berbagai spesies flora dan fauna, baik yang hidup di darat maupun di air. Beberapa spesies yang bergantung pada hutan tepi sungai adalah burung, kupu-kupu, primata, ikan, udang, kepiting, dan lain-lain. Hutan tepi sungai juga dapat berfungsi sebagai koridor ekologi yang menghubungkan kawasan hutan lainnya, sehingga memfasilitasi pergerakan dan penyebaran spesies.
- Mendukung produksi pangan dan pendapatan masyarakat. Hutan tepi sungai dapat menjadi sumber pangan bagi masyarakat sekitar, baik dari hasil perburuan, perikanan, maupun pengumpulan tanaman liar. Selain itu, hutan tepi sungai juga dapat dimanfaatkan untuk agroforestri atau agroekologi, yaitu sistem pertanian yang mengintegrasikan tanaman pangan dengan tanaman hutan. Beberapa contoh tanaman pangan yang dapat ditanam di hutan tepi sungai adalah padi, jagung, ubi jalar, pisang, kelapa sawit, kopi, kakao, dan lain-lain. Dengan demikian, hutan tepi sungai dapat meningkatkan ketahanan pangan dan pendapatan masyarakat.
Namun, hutan tepi sungai di Indonesia mengalami ancaman serius akibat alih fungsi lahan untuk kepentingan pertanian, perkebunan, pemukiman, industri, dan infrastruktur. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menunjukkan bahwa luas hutan riparian di Indonesia pada tahun 2019 hanya sekitar 3 juta hektar dari total luas DAS sebesar 191 juta hektar. Padahal, idealnya luas hutan riparian harus mencapai 30 persen dari luas DAS.
Oleh karena itu, restorasi hutan tepi sungai menjadi salah satu prioritas nasional dalam upaya pelestarian lingkungan dan pencapaian SDGs. Restorasi hutan tepi sungai adalah proses pemulihan fungsi ekologis dan sosial-ekonomis hutan tepi sungai yang telah rusak atau hilang. Restorasi hutan tepi sungai dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti penanaman pohon asli atau endemik yang sesuai dengan kondisi lokal, pengelolaan hutan berbasis masyarakat, pemberian insentif atau imbal jasa lingkungan, dan penegakan hukum terhadap pelaku perusakan hutan.
Beberapa contoh kegiatan restorasi hutan tepi sungai yang telah dilakukan di Indonesia antara lain:
- Program Forests and Landscape Restoration/ Restorasi Hutan dan Bentang Lahan (RENTANG) yang dilakukan oleh World Resources Institute (WRI) Indonesia dan International Union for Conservation of Nature (IUCN) di provinsi Jambi dan Sumatera Selatan. Program ini menggunakan Metode Evaluasi Kesempatan Restorasi (MEKAR), yaitu sebuah metodologi yang dapat digunakan untuk memetakan dan memaksimalkan tata kelola lahan di Indonesia. MEKAR dapat menyediakan informasi mengenai area prioritas yang untuk restorasi, intervensi restorasi yang relevan dan dapat dilaksanakan, biaya dan manfaat kuantitatif dari setiap jenis intervensi, perkiraan nilai karbon yang terserap oleh jenis intervensi ini, analisis opsi keuangan dan investasi untuk restorasi, dan strategi untuk mengatasi permasalahan dari sisi kebijakan dan kelembagaan.
- Program Menjaga Kawasan Hutan di Daerah Aliran Sungai untuk Keberlanjutan Hidup yang dilakukan oleh Sustainitiate bersama Sekolah Pascasarjana Universitas Padjajaran, Deputy Director, Pusat Sains Kelapa Sawit Instiper Yogyakarta, Agus Setyars. Program ini bertujuan untuk mengelola DAS dengan pendekatan ekosistem dan biodiversitas melalui solusi berbasis alami atau Nature-Based Solution (NBS). NBS adalah pendekatan yang memanfaatkan lahan alamiah strategis, seperti hutan lahan basah, riparian area, dan elemen lanskap alami lainnya sebagai infrastruktur alam. Infrastruktur alam diwujudkan melalui mekanisme insentif dan disinsentif, ketika insentif atau bantuan teknis kepada pemilik tanah untuk mengelola secara ramah lahan hutan. Selain itu, program ini juga menggunakan mekanisme imbal jasa lingkungan sebagai langkah efisien dan efektif untuk mengamankan infrastruktur alam.
- Program Pengelolaan Keberlanjutan Ekosistem Hutan Rawa Gambut Terhadap Kesejahteraan Masyarakat Lokal yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada (UGM). Program ini bertujuan untuk mengembangkan model pengelolaan hutan rawa gambut yang berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat lokal sebagai pemangku kepentingan utama. Program ini menggunakan indeks keberlanjutan yang terdiri dari empat dimensi, yaitu ekologi, sosial, ekonomi, dan institusi. Indeks keberlanjutan digunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan pengelolaan hutan rawa gambut dari berbagai aspek.
Dari beberapa contoh di atas, dapat dilihat bahwa restorasi hutan tepi sungai bukan hanya bermanfaat bagi lingkungan, tetapi juga bagi masyarakat. Restorasi hutan tepi sungai dapat menjadi salah satu solusi untuk mencapai keberlanjutan pangan di Indonesia. Namun, restorasi hutan tepi sungai tidak dapat dilakukan secara sendiri-sendiri, melainkan harus melibatkan kerjasama dari berbagai pihak, seperti pemerintah, swasta, akademisi, LSM, media, dan masyarakat. Dengan demikian, restorasi hutan tepi sungai dapat menjadi gerakan bersama yang memberikan dampak positif bagi generasi sekarang dan masa depan.
Informasi Tambahan:
https://jurnal.ugm.ac.id/JML/article/download/18791/12122
https://jurnal.ugm.ac.id/JML/article/download/18791/12122.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H