Mohon tunggu...
Rahmat Mulia Harahap
Rahmat Mulia Harahap Mohon Tunggu... Insinyur - Laki-laki

Untuk suatu perubahan kearah yang lebih baik harus dimulai dari diri sendiri biarpun itu hanya sedikit.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Hari-hari Omong Kosong

22 Mei 2011   10:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:21 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Akhirnya kamu terseret pada langkah kaku. Melepas sepatu sendiri karena ragu pada kesanggupannya untuk membawamu mengarungi pantai karang. Ditengah perjalanan rindumu angin membawa khabar kamu telah tertipu menggadaikan warisan leluhur. Tapi mulutmu telah asing membaui ludah anak cucu dengan lagu-lagu nina bobok. Syair nyanyianmu bukan lagi suara bersama.

Aku bingung menyaksikanmu di layar kaca berganti-ganti wajah membanyol tentang rasa anggur, hamburger dan musim dingin dijepitan paha-paha mulus. Astaga..! Lupakah kamu ibu yang membesarkanmu dengan air pegunungan yang sejuk?

Aku yang telah terkantuk-kantuk mendengar ocehanmu tiba-tiba tersentak saat kau peragakan adegan senggama buat melahirkan anak-anak unggul, pintar dan cantik-cantik untuk dikirim menguasai abad-abad canggih.Padahal baru tadi pagi aku mendengar khabar duka cita anak negeriku diperas, diperkosa, dijadikan budak di negeri orang.

Omonganmu semakin ngawur. Dengan mulut berbusa-busa kamu ceritakan kemajuan dalam bidang ekonomi, politik dan keamanan diiringi persentase serta angka-angka yang menyembunyikan ketakutanmu pada harta yang telah kau tumpuk. Kita akan ciptakan sebuah negeri dimana demokrasi menjadi landasan bertindak. Kebebasan yang terjamin bagi setiap orang untuk hidup dan berpikir. Pemerataan hasil-hasil pembangunan, kesempatan kerja bagi semua golongan. Sambil matamu tidak lepas  melirik gepokan uang hasil kolusi dengan para bunglon.

Aku semakin tidak mengerti apa yang kamu bicarakan. Tidak satupun yang melibatkan aku dan menyentuh dapurku. Akhirnya aku beranjak ke kamar mandi melepas peradaban yang kubeli dengan harga tinggi. Pilihan bebas tapi hanya tersedia satu. Meninggalkanmu yang lagi menari merayakan pertandingan ketololan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun