Mohon tunggu...
Rahmat Joe
Rahmat Joe Mohon Tunggu... Jurnalis - Profesional

Organisatoris, penulis, budayawan, pengusaha. "buku adalah jendela dunia, dengan membaca kita memiliki kunci segalanya"

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Lentera Bumi

2 September 2019   01:36 Diperbarui: 2 September 2019   01:40 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"aras berguncang, tampak jiwa di hasut gulungan musim. Terlarut di tengah perjalan. Musim itu; datang tak tererai, pergi tak meninggalkan bekas"

Dulu aku ber-cita untuk membangun sebuah istana di negeri hayalan. Berhasil; berhasil membatas sampai jiwa terapung di ruang gelap sunyi. Rasa itu telah mati. Meredup dengan rasa yang di tinggal pergi. Mulai saat itu aku tidak menanam harapan. Jika seandainya engkau datang untuk kembali. Aku hanya memiliki penantian kosong. "kau kembali untuk pergi, pergi untuk melangkahi kehidupan mu yang baru. 

Saat senja datang. Aku duduk di hujung batu tepat pada tengah ombak yang menghempas. Mendengar arus laut, gelombang menghempas di bibir pantai. Landscape dunia pada hari itu meraung di atas merahnya langit. Meretas rasa gundah yang hinggap di nurani. Kamu beruntung bukan bagian dari ku. Aku hanya sebagian tipis dari isi bumi, tidak berharga. Bagian yang hanya menyesatkan kehidupan. Bagian ini adalah sebagian dari cara mata mu melihat diri ku.

"Senja dengan lentera bumi". Hanya saja dia memiliki warna khas yang sangat indah. Dijadi kan sebagai teman. Sebagai cahaya untuk merefresh dari hitamnya atas apa yang telah terjadi. Cahaya itu seperti menyampaikan pesan, kamu tahu kenapa harus ada putaran waktu ? "Karena ada saatnya siang di sinari mentari memberikan kehidupan, ada waktunya bumi mengantarkan malam untuk mengubur sepi". Mata memandang tak henti ke arah barat. Andai saja kau duduk di sampingku saat itu. Aku akan bercerita kepada langit, tolong sampaikan kepada timur, putaran waktu pagi' lekaslah untuk bergegas menuju gelap. Aku menanti seseorang yang ku namakan cinta. 'dia akan duduk di sampingku untuk menemani di saat fajar menyongsong malam. 

Kau bergegas untuk aku. Melambai kan tangan dari kejauhan. Saat itu kau hanya diam. Tidak ada pesan yang kau ucapkan. Hati berkata. Apakah itu memang kau ? Aku sempat bermimpi bahwa jika itu memang kau, kenapa angin tidak mengantarkan suara mu sedikit pun. Padahal sudah jelas, kau tampak berdiri di ujung pandang ku. Saad ombak menghempas keras. Aku tersadar, bahwa itu bukan kamu. Hanya imajinasi melewati fikiran. Menterjemahkan bayangan di mata, bahwa semua hanya mimpi tak berkesudahan.

Lentera bumi hampir padam. Hampir dari setengah rasa habis. Apakah aku bisa untuk memulai kembali. Jika itu harus, aku akan membuka lembaran baru mulai dari esok hingga lusa. Biarkan tempat itu menjadi saksi sampai kau akan mengubur mimpi di lautan ini. Esok fajar akan mengubah sebuah mimpi. Menghapus memori dari hitam raut bumi. 

"harapan-harapan hanya membuat tenggelam di samudera mimpi,Semua tak berkesudahan,kehidupan baru akan di mulai ketika fajar menerangi pagi. Semua baru. Semua akan pasti, jika waktu untuk bergegas tidak akan cuma-cuma lagi"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun