Mohon tunggu...
Rahmatia IshlahAprilia
Rahmatia IshlahAprilia Mohon Tunggu... Penulis - lets go sharing and inspiring

Mahasiswa 2018

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gentong Kaca

13 Mei 2019   23:28 Diperbarui: 13 Mei 2019   23:33 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Salah satu legenda di kampung Nyunda yang membawa Narsih kemari, dan Jono ikut. Dalam badai sekali pun, Jono akan tetap ada disampingnya sambil berkata "Aku akan tetap memegang tanganmu seperti ini" kemudian  tangannya menggenggam tangan Narsih lebih erat.

 "Kamu tidak perlu ikut" ujar Narsih sewaktu adzan magrib berkumandang, dan Jono hendak menunaikan shalat di mushala.

"aku akan selalu ikut. Kamu tunggu disini sebentar, aku hendak menunaikan shalat magrib terlebih dahulu" jawab Jono cepat cepat dan berlalu menuju mushala tanpa menoleh lagi kepada Narsih. Ia yakin Narsih akan menunggu nya seperti waktu yang sudah sudah.

Tidak baik perempuan berkeliaran malam hari dan sedang haid, apalagi bepergian jauh dan tak tau akan beristirahat dimana. Mendung berkali kali mengundak gledek namun tak membuat tekad Narsih melebur. Perjalanan berkilo-kilo meter kemudian menembus hutan belantara tanpa arah pasti akan dilalui Narsih dengan tekad berapi api. Tak ada kompas, peta, ataupun petunjuk. Yang ia bawa sebagai bekal hanyalah petuah, bahwa barang siapa yang pergi dengan sebuah tekad, ia akan mendapatkan hasil.

Jono benar-benar ditinggalkannya sendirian. Hujan tak berani menyentuh Narsih sedikit pun, konon katanya Jono ini punya mantra agar kekasihnya itu tak diganggu siapapun, termasuk alam sekali pun. Barangkali hal ini pula yang membuat Narsih berani jalan sendirian pada malam hari meskipun ia sedang haid. Gentong kaca yang disebut sebut sebagai legenda kampung Nyunda katanya mampu menyembuhkan penyakit buta. Jangankan buta mata, buta hati pun katanya bisa. Narsih akan mencari gentong itu kemana pun untuk adik nya yang sudah buta sejak lahir. Kalau bukan karena kesedihan hatinya untuk meninggalkan sang adik yang buta untuk bekerja di luar negri karena terikat kontrak dengan bedebah lintah darat yang membuat hidupnya sengsara, ia tak akan mencari cari gentong ajaib yang hanya diceritakan khasiatnya dari mulut ke mulut.

            "teteh mau kemana teh?" ujar adiknya sambil meraba raba bilik tembok menuju tempat Narsih terdiam membisu.

            "tidur, sudah malam ini Din"

            "hari selalu malam bagiku, dan aku..."

            "tidur! Biar teteh carikan siang untukmu esok hari. Nikmatilah dulu malammu Din"

            "tapi berjanjilah padaku teh, jikapun siang akan datang padaku. Teteh harus tetap menemani siangku"

            "melantur saja bicaramu. Tidurlah, biar teteh masakkan makanan yang enak besok dan untuk beberapa hari kedepan"

            "sebenarnya teteh mau kemana? Ku dengan kemarin teteh dan si Jono bercakap cakap akan pergi ke suatu tempat. Jauhkah tempat itu teh?" tanya Dini dengan rasa penasaran yang menggebu-gebu.

Hening. Narsih merasa sesak di dadanya. Bayangan harus meninggalkan adik nya sendiri dalam keadaan buta sangatlah menyiksanya.

"Tidurlah Din. Biar teteh pergi sebentar mencari uang satu atau dua hari. Kau tidurlah dan tinggal dengan tenang disini. Teteh pasti akan pulang membawa suatu hal yang menyenangkanmu. Tidurlah dan jangan banyak bicara lagi."

 Setelah perdebatan itu ditutupnya bilik kamar Narsih. Tersedu-sedu ia menangis, dan kemudian tertidur hingga adzan subuh berkumandang.

Adzan subuh berkumandang, Narsih merapikan pakaian. Selama sepekan, ia mencari uang dan makanan untuk persediaan di rumah selama ia pergi. Ia tahu, Dini sudah lama terbiasa melakukannya dengan gelap. Suara adzan akan memberitahukannya tentang waktu, bilik-bilik itu akan memberitahukannya tentang batas tempat, lonceng di depan pintu akan menunjukkannya tamu yang datang berkunjung. Satu satunya yang Dini tidak tau adalah kemana Narsih akan pergi hari itu. Dari subuh, kamar Narsih sudah sangat gaduh. Dan seharian penuh ia membereskan rumah, pakaian kotor, dan menata makanan-makanan di meja makan.

Tidak ada alasan untuk mengulur-ngulur waktu lagi. Saat senja akhirnya mengundang adzan magrib, Narsih bergegas pamit pada adiknya dengan memberi banyak nasihat dan doa. Ia akan pergi sendirian menembus malam untuk mencari Gentong Kaca itu. disamping masjid, Jono berlarian mengejar Narsih dan memohon agar ia mau menunggu nya shalat magrib. Jono berlalu dan  Narsih tetap pergi menembus malam. Jaket tebal, senter, dan persediaan minum juga pakaian membawa Narsih menuju hutan lewan jalan setapak dari desa Sanggar. Ia tahu, Jono akan marah sekali pada nya begitu tahu bahwa dirinya ditinggalkan. Tapi apa boleh buat, keinginannya untuk menyembuhkan mata Dini lebih besar. Cepat atau lambat ia akan meninggalkan adiknya, namun ia bertekad untuk membuat mata itu bisa melihat segala sesuatu selain gelap.

Konon katanya gentong kaca itu dibuat oleh sebuah leluhur yang anaknya mati dalam keadaan hamil. Selama kehamilan si anak, ia membuat gentong kaca yang nanti nya akan ia berikan untuk menyambut kelahiran cucu nya. Membuat gentong kaca saat itu sangatlah mustahil, namun dengan tekad kuat akhirnya ia mengumpulkan banyak air mata bayi yang menangis dari beberapa desa dan kota. Bukan hanya dari manusia, ia juga mengumpulkan air mata anak anak hewan seperti sapi, babi, dll. Cerita dari mulut ke mulut yang dilakukan warga akhirnya menyebar kemana mana. Terlebih bagaimana cara ia mendapatkan air mata-air mata itu sangatlah sulit. Setelah tujuh bulan lama nya ia mengumpulkan air mata, dan dua bulan sisanya ia berusaha membuat gentong kaca itu. kelahiran cucu nya pun akan segera tiba. Gentong kaca itu telah ia siapkan untuk dipamerkan pada seluruh warga. Namun ternyata sang anak meninggal saat melahirkan, dan cucu nya hanya mampu bertahan hidup selama satu jam hingga akhirnya meninggal. Ia sangat terpukul dengan kejadian ini, dan diambilnya air mata terakhir anak dan cucu nya ke dalam gentong itu. kemudian ia pun menangisi mereka setiap hari, dan air matanya juga ia masukan ke dalam gentong.

Gentong kaca itu penuh dengan air mata. Sehingga akhirnya ditutup dan disembunyikan di suatu tempat di kampung Nyunda. Konon katanya sebelum sang leluhur mati, ia pernah memberikan seorang pengemis buta secangkir air dari gentong kaca itu karena telah menyelamatkan hidupnya dari pohon runtuh, dan tiba tiba si pengemis jadi bisa melihat. Warga bertanya tanya bagaimana bisa pengemis itu menolong sang leluhur dari pohon runtuh, sehingga kemudian warga percaya bahwa alam sedang menunjukkan sebuah obat yang telah disembunyikan sang leluhur untuk dunia. Gentong kaca itu hilang setelah kematian leluhur itu. Pengemis yang sudah bisa melihat juga ikut mencari gentong tersebut. Menurut si pengemis, gentong itu akan bersilau dan menunjukan diri nya pada orang yang telah berkorban untuk oranglain. Sama seperti gentong itu bersinar setelah ia menyelamatkan sang leluhur. Padahal waktu itu si pengemis belum bisa melihat, namun kesilauan gentong itu terlebih dahulu menyinari mata nya sebelum ia meminum air dari dalam gentong.

 Narsih tidak yakin akan menemukan gentong itu. setelah berpuluh puluh tahun gentong kaca itu menghilang sehingga hanya menjadi sebuah mitos di kampung tersebut. Satu satu nya yang menjadi bekal nya hanya tekad dan kisah mitos tersebut. Dua hari satu malam perjalanan ia tempuh sendiri. Dan kampung Nyunda sudah semakin dekat. Ia merindukan Jono sebagaimana biasa lelaki itu menemani nya kemana pun. Ketika Narsih sudah sampai di kampung itu, ia beristirahat di sebuah mesjid untuk membersihkan diri dan makan. Ia juga bertanya tanya dengan mitos tentang gentong tersebut, namun warga hanya menjadikannya sebuah mitos dan tidak tertarik untuk mengetahui nya lebih dalam.

"kalau itu sih mitos turun temurun. Sebelum masuk sekolah dasar, semua anak disini pasti pernah mendengar mitos tersebut teh" ujar marbot mesjid

Berhari hari ia menginap dan mencari keberadaan gentong di kampung tersebut. Dan selama itu ia tak menemukan petunjuk khusus kecuali dari kisah itu sendiri. Narsih teringat makanan yang ia sediakan untuk Dini hampir habis. Dan ia harus cepat pulang. Kekecewaan tertanam dalam diri nya. Ketika badai datang pada kampung tersebut, Narsih nekat pulang karena teringat dengan adiknya. Kekecewaan nya terlalu besar, ketika semua warga memanggil manggil dirinya ketika ia menembus badai tersebut.  Angin berkali kali menarik tubuhnya namun kemarahannya lebih besar. Ia bertahan dan berjalan menuju pulang. Sebuah pohon tumbang jatuh menuju pada nya namun seseorang menarik tubuhnya dengan cepat.

"Jono?" ujarnya sambil terbelalak.

"aku bilang akan memegang tanganmu dengan erat" jawab lelaki itu sederhana.

Ketika mereka berdua berlari menghindari badai yang semakin kencang. Tanah yang dipijak Jono longsor, dan Narsih berusaha memegang erat lengan kekasih nya itu. waktu membuat lengan itu kelelahan, sehingga tanah yang dipijaki Narsih juga hampir longsor. Jono yang akhirnya sudah sampai ke atas tanah yang baru dan kokoh sekarang bergiliran menahan lengan Narsih yang tubuhnya hampir terjatuh terbawa longsor. Tangan mereka erat dan kuat, namun Narsih tau bahwa tanah yang Jono pijak lagi lagi akan longsor dan akhirnya mereka sama sama jatuh.

 "lepaskan Jono, lepaskan" pinta Narsih memohon

"tidak akan pernah" ujar Jono singkat sambil terus menahan lengan Narsih

"ku mohon, jaga Dini untukku" pinta nya lagi

Setelah permohonan yang diiringi tangis itu. Jono bersiap melepaskan lengan Narsih dengan tumpahan air mata. Namun tiba tiba sebuah cahaya menyinari mereka dari gundukan tanah di belakang Jono. Gentong Kaca. Tepat setelah Narsih terjatuh sambil tersenyum pada Jono, Gentong itu mengeluarkan sinar yang menyilaukan ke mata mereka berdua. Gentong kaca akan mengeluarkan sinar pada orang yang telah mengorbankan dirinya untuk oranglain.

Pengorbanan Narsih tidak sia-sia. Gentong itu benar benar ada dan membantu mata Dini untuk melihat. Meskipun Dini tidak pernah melihat kakaknya, tapi selama hidupnya ia akan melihat perjuangan kakaknya itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun