"sebenarnya teteh mau kemana? Ku dengan kemarin teteh dan si Jono bercakap cakap akan pergi ke suatu tempat. Jauhkah tempat itu teh?" tanya Dini dengan rasa penasaran yang menggebu-gebu.
Hening. Narsih merasa sesak di dadanya. Bayangan harus meninggalkan adik nya sendiri dalam keadaan buta sangatlah menyiksanya.
"Tidurlah Din. Biar teteh pergi sebentar mencari uang satu atau dua hari. Kau tidurlah dan tinggal dengan tenang disini. Teteh pasti akan pulang membawa suatu hal yang menyenangkanmu. Tidurlah dan jangan banyak bicara lagi."
 Setelah perdebatan itu ditutupnya bilik kamar Narsih. Tersedu-sedu ia menangis, dan kemudian tertidur hingga adzan subuh berkumandang.
Adzan subuh berkumandang, Narsih merapikan pakaian. Selama sepekan, ia mencari uang dan makanan untuk persediaan di rumah selama ia pergi. Ia tahu, Dini sudah lama terbiasa melakukannya dengan gelap. Suara adzan akan memberitahukannya tentang waktu, bilik-bilik itu akan memberitahukannya tentang batas tempat, lonceng di depan pintu akan menunjukkannya tamu yang datang berkunjung. Satu satunya yang Dini tidak tau adalah kemana Narsih akan pergi hari itu. Dari subuh, kamar Narsih sudah sangat gaduh. Dan seharian penuh ia membereskan rumah, pakaian kotor, dan menata makanan-makanan di meja makan.
Tidak ada alasan untuk mengulur-ngulur waktu lagi. Saat senja akhirnya mengundang adzan magrib, Narsih bergegas pamit pada adiknya dengan memberi banyak nasihat dan doa. Ia akan pergi sendirian menembus malam untuk mencari Gentong Kaca itu. disamping masjid, Jono berlarian mengejar Narsih dan memohon agar ia mau menunggu nya shalat magrib. Jono berlalu dan  Narsih tetap pergi menembus malam. Jaket tebal, senter, dan persediaan minum juga pakaian membawa Narsih menuju hutan lewan jalan setapak dari desa Sanggar. Ia tahu, Jono akan marah sekali pada nya begitu tahu bahwa dirinya ditinggalkan. Tapi apa boleh buat, keinginannya untuk menyembuhkan mata Dini lebih besar. Cepat atau lambat ia akan meninggalkan adiknya, namun ia bertekad untuk membuat mata itu bisa melihat segala sesuatu selain gelap.
Konon katanya gentong kaca itu dibuat oleh sebuah leluhur yang anaknya mati dalam keadaan hamil. Selama kehamilan si anak, ia membuat gentong kaca yang nanti nya akan ia berikan untuk menyambut kelahiran cucu nya. Membuat gentong kaca saat itu sangatlah mustahil, namun dengan tekad kuat akhirnya ia mengumpulkan banyak air mata bayi yang menangis dari beberapa desa dan kota. Bukan hanya dari manusia, ia juga mengumpulkan air mata anak anak hewan seperti sapi, babi, dll. Cerita dari mulut ke mulut yang dilakukan warga akhirnya menyebar kemana mana. Terlebih bagaimana cara ia mendapatkan air mata-air mata itu sangatlah sulit. Setelah tujuh bulan lama nya ia mengumpulkan air mata, dan dua bulan sisanya ia berusaha membuat gentong kaca itu. kelahiran cucu nya pun akan segera tiba. Gentong kaca itu telah ia siapkan untuk dipamerkan pada seluruh warga. Namun ternyata sang anak meninggal saat melahirkan, dan cucu nya hanya mampu bertahan hidup selama satu jam hingga akhirnya meninggal. Ia sangat terpukul dengan kejadian ini, dan diambilnya air mata terakhir anak dan cucu nya ke dalam gentong itu. kemudian ia pun menangisi mereka setiap hari, dan air matanya juga ia masukan ke dalam gentong.
Gentong kaca itu penuh dengan air mata. Sehingga akhirnya ditutup dan disembunyikan di suatu tempat di kampung Nyunda. Konon katanya sebelum sang leluhur mati, ia pernah memberikan seorang pengemis buta secangkir air dari gentong kaca itu karena telah menyelamatkan hidupnya dari pohon runtuh, dan tiba tiba si pengemis jadi bisa melihat. Warga bertanya tanya bagaimana bisa pengemis itu menolong sang leluhur dari pohon runtuh, sehingga kemudian warga percaya bahwa alam sedang menunjukkan sebuah obat yang telah disembunyikan sang leluhur untuk dunia. Gentong kaca itu hilang setelah kematian leluhur itu. Pengemis yang sudah bisa melihat juga ikut mencari gentong tersebut. Menurut si pengemis, gentong itu akan bersilau dan menunjukan diri nya pada orang yang telah berkorban untuk oranglain. Sama seperti gentong itu bersinar setelah ia menyelamatkan sang leluhur. Padahal waktu itu si pengemis belum bisa melihat, namun kesilauan gentong itu terlebih dahulu menyinari mata nya sebelum ia meminum air dari dalam gentong.
 Narsih tidak yakin akan menemukan gentong itu. setelah berpuluh puluh tahun gentong kaca itu menghilang sehingga hanya menjadi sebuah mitos di kampung tersebut. Satu satu nya yang menjadi bekal nya hanya tekad dan kisah mitos tersebut. Dua hari satu malam perjalanan ia tempuh sendiri. Dan kampung Nyunda sudah semakin dekat. Ia merindukan Jono sebagaimana biasa lelaki itu menemani nya kemana pun. Ketika Narsih sudah sampai di kampung itu, ia beristirahat di sebuah mesjid untuk membersihkan diri dan makan. Ia juga bertanya tanya dengan mitos tentang gentong tersebut, namun warga hanya menjadikannya sebuah mitos dan tidak tertarik untuk mengetahui nya lebih dalam.
"kalau itu sih mitos turun temurun. Sebelum masuk sekolah dasar, semua anak disini pasti pernah mendengar mitos tersebut teh" ujar marbot mesjid
Berhari hari ia menginap dan mencari keberadaan gentong di kampung tersebut. Dan selama itu ia tak menemukan petunjuk khusus kecuali dari kisah itu sendiri. Narsih teringat makanan yang ia sediakan untuk Dini hampir habis. Dan ia harus cepat pulang. Kekecewaan tertanam dalam diri nya. Ketika badai datang pada kampung tersebut, Narsih nekat pulang karena teringat dengan adiknya. Kekecewaan nya terlalu besar, ketika semua warga memanggil manggil dirinya ketika ia menembus badai tersebut. Â Angin berkali kali menarik tubuhnya namun kemarahannya lebih besar. Ia bertahan dan berjalan menuju pulang. Sebuah pohon tumbang jatuh menuju pada nya namun seseorang menarik tubuhnya dengan cepat.