Mohon tunggu...
Rahmatia IshlahAprilia
Rahmatia IshlahAprilia Mohon Tunggu... Penulis - lets go sharing and inspiring

Mahasiswa 2018

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan di Indonesia, Antara Teori dan Moral

10 Mei 2019   11:46 Diperbarui: 10 Mei 2019   12:52 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Moralitas Tanpa Batasss

Baru baru ini kita dikejutkan dengan vidio seorang siswa yang melakukan sikap tidak sopan kepada gurunya. Vidio tersebut menjadi viral dan melibatkan hukum. Apakah ini pertama kalinya? Oh saya rasa tidak. 

Kejadian ini sering kali terulang dan terulang, seolah olah pelaku yang terlibat tidak pernah nonton tv, berita, atau tidak pernah menggunakan media sosial. 

Bahwa kejadian semacam ini pernah dan bahkan sering terjadi dan pasti menyeret pelaku pada hukum. Memang banyak cara untuk menjadi viral, tapi ada banyak cara juga agak viralnya tidak merambat ke urusan hukum yang mintul yang sudah pasti membawa kesulitan bagi kehidupan si pelaku.

Teman-teman, guru, dan saudara-saudara saya juga ramai menjadikan kasus tersebut sebagai topik. Baik itu ketika ngerumpi di tempat makan, ngobrol-ngobrol cantik di ruang keluarga, grup di whatsapp, bahkan di status instagram, WA, juga Facebook. 

Katanya Pendidikan di negeri ini miris, kurang diperhatikan, dan blablabla yang membuat lawan bicara angguk-angguk kayak boneka kecil di dashboar mobil. Topik tentang pendidikan memang selalu menarik dan tiada habisnya, apalagi pendidikan di Indonesia. 

Seolah bukan hanya melibatkan murid, guru, atau pemerintah. Pembahasan tentang pendidikan akan menyebar ke gaji, keuangan negara, fasilitas di desa desa terpencil, atau bahkan nanti pembahasannya bisa berujung pada macan tutul. Kok bisa? Ya bisa, ini kan tulisan saya, bisa bisain aja.

Nah ketika pembahasan tentang pendidikan mulai memanas, saya seolah mengacungkan jari telunjuk di bangku sekolah. Menyiapkan argumen saya dengan rasa yang bergejolak. Kemudian dengan mantap saya katakan " Engga kok, pendidikan di Indonesia sudah cukup baik. 

Buktinya beribu-ribu mahasiswa daftar ingin menjadi volunteer untuk memajukan pendidikan dan daerah yang kekurangan atau belum bisa memanfaatkan sumber daya dengan maksimal" dan ucapan itu membuat krik krik sebagai jeda beberapa saat, membuat saya tarik napas lagi lalu ucapan seperti air bah yang sudah dibendung beberapa tahun lamanya.

Pendidikan di Indonesia sudah cukup baik kok. Makin kesini, prestasi yang di buat anak bangsa semakin banyak. Adanya bimbel online dengan kualifikasi pengajar dan publik figure yang oke, perfilman Indonesia yang semakin maju dan mendidik, buku bos, dana bantuan, atau bahkan para mahasiswa ambis dari tiap kampus yang bergelut dengan organisasi menurut saya sudah mencerminkan bahwa pendidikan Indonesia itu sebenarnya sudah agak maju. 

Yang kurang atau bahkan belum itu yaa pendidikan MORAL. Kok nge gas sih di capslock? Biar sadar saja bahwa moral adalah hal besar yang semestinya lebih dulu diajarkan sebelum mengajarkan teori bahwa  1+1=2

Tapi apa tanggung jawab pemerian moral ini juga tanggung jawab pemerintah? IYA, namun tetap saja bahwa pemerian pendidikan moral pertama kali adalah orangtua dan keluarga. Siswa memang meniru dan menggugu guru. Tapi anak adalah buah dari pohon memgalirkan nutrisi kedalamnya. Pendidikan moral seperti hal nya kesehatan mental. 

Paling penting namun seakan dianggap samar samar dalam menunjang pendidikan. Namun apa pendidikan moral hanya soal sopan atau membangkang? Malas atau rajin? Pembohong atau pendekar kebenaran? Tidak kak, pendidikan moral seperti darah yang bahkan mengalir ke jantung untuk dipompa lagi ke seluruh bagian tubuh yang nantinya memberi dampak pada segala tingkah laku.

Sebulan yang lalu teman saya menangis di telfon. Selama 6 tahun pertemanan kami, dia baru menelfon saya sambil  menangis tersedu sedu. Setelah lulus SMA, dia diterima di salah satu kampus negri dan mengambil kamar di asrama dengan sistem lumayan ketat karena telat mencari kamar kostan. 

Dari tangisnya yang tersedu-sedu, ia bercerita bahwa hari itu ia kena fitnah teman satu kamarnya dengan dugaan tidak shalat berjamaah di mesjid beberapa hari yang tentunya melanggar aturan. 

Temannya melaporkan kepada wali asuh kamar yang umurnya lebih besar, pengetahuannya lebih banyak, dan tentu nya akhlaknya mungkin lebih baik dari teman saya yang menangis di ujung telfon. 

Teman saya mengaku bahwa ia baru satu kali tidak ikut shalat berjamaah, namun wali asuh memarahinya habis habisan termakan oleh fitnah bahwa katanya dia sudah berkali kali tidak shalat berjamaah. Maka pudarlah pandangan saya terhadap perempuan itu, bukan kepada orang yang memfitnah teman saya, karena urusan fitnah itu dengan Tuhan. 

Namun kepada wali asuh yang sudah bertahun tahun memiliki lebih banyak ilmu dan pengalaman. Kenapa dia harus mendengar satu pihak? Kenapa dia tidak memastikan dengan sungguh-sungguh. Meski kasus itu berujung pada meminta maaf. 

Namun makian didepan orang banyak adalah pengalaman yang buruk, terlebih itu hanya sebuah fitnah. Pendidikan moral tidak selalu didapat oleh manusia dengan pendidikan tinggi kan?

Atau kasus teman saya yang ambisius pada IPK. Ketika saya kadang menonton drama korea, dia bahkan masuk di seminar seminar untuk tingkat akhir. Ketika saya dimarahi dosen karena lupa membaca satu bab buku. 

Dia bahkan dipuji untuk materi yang bahkan belum diajarkan. Ketika saya membaca buku untuk UAS esok hari, dia bahkan mati-mati an mencari kunci jawaban. Kenapa dia harus melakukan itu? nilai, pujian dosen, sudah dimiliki nya. Apalah arti sebuah nilai jika ilmu di otaknya sudah seimbang dengan usahanya. 

Bukankah lelah ketika kita belajar mati matian namun nilai besar yang kita dapat bukan hasil kita sendiri? Maka dari itu, pendidikan di Indonesia sudah sangat bagus, maju, begitu pun para siswa dan mahasiswanya. Tapi soal moral? Bangunlah Indonesiaku, bahkan negara ini di merdekakan bukan dengan nilai, tapi dengan perjuangan dan kesantunan para pahlawan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun