Tanggapan:
Setiap almamater memiliki karakter khasnya masing-masing. Universitas-universitas besar, seperti ITB, UI, UGM, biasanya lebih dominan dalam segala hal. Benar saja. Tidak susah mengenali mana saja peserta dari kampus-kampus itu berdasarkan bagaimana mereka berinteraksi. UI ITB benar-benar terlihat lebih eksklusif -di mata saya-, walaupun tidak secara terang-terangan. Beberapa perwakilan UGM, sama seperti UI dan ITB, perlahan tapi pasti, menarik perhatian dengan dominan di banyak kesempatan; memancing kampus-kampus lain juga menunjukan peringainya. Karakter masing-masing kampus sangat terlintas terutama pada forum besar yang menuntut argumentasi peserta di dalamnya. UI, ITB, UGM, ITS mati-matian mempertahankan pendapatnya –juga ego-. Kampus-kampus lain tidak mau kalah, walaupun tidak ‘sengoyo’ kampus-kampus tenar itu. Menurut saya, mengenal pribadi tiap orang itu penting bagi seorang pemimpin. Pemimpin yang baik harus mengenal siapa yang akan dipimpinnya, sehingga dapat berstrategi dalam memberi perlakuan nantinya.
PELAJARAN KETIGA
Semula: Lambat membuat keputusan
Hasil: Tanggap melihat keadaan
Tanggapan:
Pada mulanya, saya adalah tipe orang yang sangat sulit untuk membuat keputusan, apalagi jika menyangkut kepentingan orang banyak. Banyak hal yang saya pertimbangkan, ini membuat saya lamban mengambil keputusan. Di sini, saya dituntut untuk berpikir sistematis, juga taktis, menanggapi setiap masalah yang diberikan. Ini membuat saya mulai membiasakan diri untuk menggunakan waktu seefektif dan seefisien mungkin. Cepat, tapi harus beralasan. Itu yang selalu ditekankan kepada kami.
PELAJARAN KEEMPAT
Semula:Â Sulit untuk memberi kepercayaan kepada orang lain
Hasil: Mencoba terbuka untuk mulai mempercayai orang lain
Tanggapan:
Kadang kala, mempercayakan sesuatu kepada orang lain hanya akan menyulitkan pada akhirnya, menurut saya. Menjadi perfeksionis menuntut setiap yang kita kerjakan harus sempurna, dan target ini sering meleset saat kita mempercayakan orang lain untuk melakukannya. Dalam acara ini, kami dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil, di mana tiap individu di dalamnya bertanggung jawab atas individu lainnya. Kesalahan satu orang menjadi kesalahan bersama, begitu aturannya. Alhasil, walaupun pada mulanya dilakukan secara terpaksa, lambat laun mempercayai orang lain menjadi suatu hal yang biasa. Mengapa? Kita tahu bahwa orang lain beranggapan apa yang dia lakukan akan berdampak bagi hidup orang lain, sehingga mereka berusaha melakukan semuanya dengan baik –seperti halnya yang kita lakukan-. Semua menjadi semakin mudah. Apalagi pernah ada pengalaman dimana saat saya masuk zona merah dan ‘dihukum’, ketiga teman saya juga terkena hukuman dan melakukan hukuman itu dengan suka cita. That means a lot for me. Menurut saya, ini juga perlu untuk dimiliki oleh setiap pemimpin. Mempercayai orang lain karena kita tidak dapat melakukan semuanya seorang diri :)