Mohon tunggu...
Rahmat Thayib
Rahmat Thayib Mohon Tunggu... Penulis - Sekadar bersikap, berharap tuna silap.

Sekadar bersikap, berharap tuna silap. Kumpulan tulisan saya: http://rahmathayib.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jalan Para Patriot, Masa Depan Para Demokrat

4 Mei 2019   14:57 Diperbarui: 5 Mei 2019   12:11 805
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada yang "happy" dengan polarisasi politik "umat-abangan". Saking "happy"-nya mereka sampai mau membinasakan kalangan yang mengambil jalan tengah. 

Padahal, polarisasi ini amat bahaya. Sejak Pilgub DKI Jakarta 2017, dan puncaknya Pilpres 2019, negeri ini terus panas. Gejolak sosial berkembang-berbuah. Ancaman kelompok-kelompok yang ingin memisahkan diri dari NKRI bermunculan.

Sebenarnya polarisasi "umat-abangan" sudah tuntas sejak Republik Indonesia berdiri. Indonesia bukan negeri "umat". Bukan negeri "abangan". 

Indonesia adalah negeri Pancasila. Norma ini merasuki sektor politik, termasuk parpol. Makanya tak ada lagi parpol yang murni "umat" atau murni "abangan". Kedua pandangan politik itu isi-mengisi.

Turunan paling gampang ya Partai Demokrat. Parpol ini mengibaratkan "nasionalis-religius" sebagai sepasang sayap yang mesti dikepak bersama agar bangsa ini bisa terbang tinggi. Bagi Demokrat keduanya  bukan pilihan, melainkan bisa dan harus bisa sejalan.

Keliru besar bila menuding Demokrat abu-abu di tengah kontestasi politik yang mengusung polarisasi "umat-abangan". 

Eksistensi Demokrat justru meneguhkan khitah Pancasila. Secara tegas Demokrat menolak islamphobia yang diciptakan kubu tertentu, sekaligus menolak politik identitas. Demokrat kukuh menyintas jalan ini seberapa kuatpun tarikan-tarikan polarisasi.

Kalaupun pada pemilu 2019 suara Demokrat turun, ini konsekuensi dari pengabdian tulus. Ini resiko merawat kebhinekaan sebagai sumber kekayaan bangsa. Ini yang disebut SBY sebagai "berjuang dengan cara-cara yang baik". Dan perjuangan ini dipraktikan Demokrat di mana pun posisinya, sampai kapan pun.

Telisik saja kontestasi politik selama Demokrat menjadi the rulling party? Adakah politik identitas begitu marak? Adakah isu SARA yang memicu gejolak besar? Adakah isu khilafah menjadi dagangan politik? Tidak! 

Jauh sebelum Pilgub DKI Jakarta 2017, Demokrat sudah konsisten, dan akan terus konsisten ke depannya. Coba bayangkan bila Demokrat terjebak dalam polarisasi ini! Indonesia bisa-bisa terbakar sebab tidak ada poros yang menyejukan panas api dari kedua kubu.

Ambil contoh silaturahmi Jokowi dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tempo hari. Secara pribadi, AHY diundang ke istana. 

Dan sebagai warga negara yang baik AHY memenuhi undangan Presiden. Waktu diwawancarai wartawan, AHY tegas menyerukan pandangan-pandangan bijak guna melunakan polarisasi. Pernyataan AHY sudah didahului dan disusul oleh sikap tegas Demokrat untuk bersama Prabowo-Sandiaga sampai permainan selesai.

Mestinya bola panas berhenti bergulir di sini. Sayangnya, mereka yang mengeruk keuntungan dari polarisasi politik tidak terima. Digorenglah isu ini habis-habisan. AHY didiskreditkan. Akhirnya SBY dan Demokrat ketiban pulung. 

Padahal, publik sama-sama paham kalau Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan sudah bertemu Jokowi. Petinggi-petinggi PKS sudah dikontak Luhut Binsar Pandjaitan. Tapi toh, serangan bagi mereka tidak seheboh serangan untuk Demokrat.

Apa AHY tidak bisa memprediksi serangan-serangan ini? Tentu saja bisa. Tapi, ini bukan soal etis-tidak etis. Apalagi cari selamat. Ini soal membaca situasi-kondisi secara cerdas dan dengan hati yang jernih.

Polarisasi makin menguat menjelang penetapan hasil Pemilu. Indonesia butuh ikhtiar-ikhtiar untuk menyejukan suasana yang makin panas. 

AHY maju untuk menjawab tuntutan zaman ini. Kalau untuk itu AHY harus jadi sansak tinju kaum oportunis, itu konsekuensi yang harus diambil. Tapi, ini terang sikap seorang patriot yang rela mengorbankan dirinya demi merawat jiwa kebangsaan Indonesia.

Haji Agus Salim pernah menyebut : leiden is lijden---memimpin adalah menderita. Pemimpin harus siap mengorbankan diri untuk mereka yang dipimpin. Inilah yang dilakukan AHY, SBY dan Demokrat paling tidak lima tahun ke belakang. 

Ketiganya ibarat martir yang mengorbankan diri demi mengawal keutuhan bangsa menapaki jembatan emas yang dicita-citakan para pendiri bangsa.

Dengan sikap patriotik ini agaknya masa depan Demokrat bakal gemilang. Sebab Indonesia masa depan akan "dihidupi" oleh generasi milenial. 

Kelas menengah ini paham kalau polarisasi politik tidak sesuai karakter bangsa. Mereka juga cenderung rasional dan paham konsekuensi dari berkorban untuk kepentingan yang lebih besar. Demokrat agaknya menjadi pilihan tepat untuk menjadi pelabuhan pilihan politik generasi ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun