Sewaktu membaca isu SBY memecah belah NU cuma gara-gara Pilgub Jatim, saya langsung geleng-geleng kepala. Sebegitu panik dan gelap matakah sampai-sampai menabur badai fitnah demi memenangkan jagoannya? Alangkah heran diri saya menguping bas-bus fitnah yang mendesus-desus ini. Mari kita menyigi dua sosok penting untuk meluruskan fitnah ini, yakni NU dan SBY.
Pertama, NU adalah organisasi Islam terbesar di Indonesia yang punya rekam jejak luarbiasa bagi pembangunan bangsa dan negara, bahkan sepakterjang NU sudah tercatat jauh sebelum Republik Indonesia lahir. NU sudah ibarat gaya hidup orang Jawa Timur, bahkan sebagian besar orang Indonesia, karena NU memayungi semua warga Nahdliyyin, terlepas dari suku bangsa, domisili, strata sosial, dan apalagi pandangan politik. NU hadir untuk Indonesia.
Karena itu menyebut NU bisa dipecahbelah hanya karena urusan politik lima tahunan adalah pelecehan besar. Orang yang berpikir seperti ini bukan hanya bodoh dan tolol---maaf saya tak bisa menemukan istilah yang lebih santun---dalam membaca eksistensi NU, sekaligus kurang ajar!
Sejak dulu, warga Nahdliyyin punya beragam pandangan politik. Mereka tersebar di semua parpol, mengabdi di pelbagai lembaga negara, mendirikan LSM atau ormas lainnya; dan hingga hari ini NU masih baik-baik saja. Tidak pernah ada Pilpres, apalagi pileg dan pilkada yang bikin warga Nahdliyyin gontok-gontokan. Karena NU amat memahami keragaman bangsa Indonesia, termasuk keragaman pemikiran warga Nahdliyyin.
Kedua, SBY memiliki kedekatan dengan NU. Sejak berkarir di dunia politik, jadi menteri maupun Presiden dua periode, SBY tergolong akrab dengan warga Nahdliyyin. Terlebih, ibunda SBY, Sitti Habibah adalah putri salah seorang pendiri pondok pesantren Tremas. Bahkan Gus Dur pernah mendaulat SBY sebagai sedulur NU.
Untuk urusan politik apalagi. Kala SBY maju sebagai capres 2004 dan 2009, tak pernah kita menguping gossip bahwa SBY mencoba memecah belah NU. Jadi amat tak masuk akal apabila SBY dituduh memecah belah NU hanya untuk urusan Pilkada Jatim yang tak tersangkut-paut langsung dengan dirinya. Ini kebangetan!
Lagipula kalau ditelisik Khofifah Indra Parawansa dan Saifullah Yusuf sama-sama warga Nahdliyyin. Â Khofifah itu Ketua Umum PP Muslimat, sayap perempuan warga Nahdliyyin. Sementara Saifullah Yusuf bekas Ketua Umum GP Anshor, sayap pemuda NU. Lantas, apa kita mau menyebut yang satu lebih NU ketimbang yang lain? Bukankah pemikiran ini yang sejatinya memecah-belah NU?
Padahal sejak dulu NU tidak mau dikerangkeng politik praktis. NU selalu mempersilakan warga Nahdliyyin memilih sesuai dengan hati nuraninya. Tidak ada instruksi seperti di parpol. Semua pandangan politik lahir dan bergulir sesuai kehendak warga Nahdliyyin sendiri.
Jadi, apa yang sebenarnya terjadi? Hemat saya, badai fitnah ini tak lebih dari laku panik gara-gara Khofifah lebih di atas angin ketimbang Gus Ipul. Dan SBY---sebagai seorang negawaran, Presiden ke-6 RI, ketua umum Partai Demokrat---punya magnet besar dalam memantik masyarakat Jatim untuk memilih Khofifah.
Akibat jebloknya elektabilitas Gus Ipul, ada sekelompok orang yang nekad main kampanye hitam. Apalagi targetnya kalau bukan main bola tek-tok. Menyerang SBY guna mendegradasi elektabilitas Khofifah. Strategi ini sudah basi! Rakyat Indonesia pasti paham strategi bola tek-tok sudah berulang-ulang digunakan di Pilgub DKI Jakarta untuk menjegal kemenangan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
Sebenarnya, yang patut dipertanyakan, mengapa SBY lebih mendukung Khofifah ketimbang Gus Ipul dalam Pilgub Jatim. Padahal Gus Ipul adalah mantan menteri di kabinet SBY, juga wakil gubernur Jatim pendamping Soekarwo, salah satu kader utama Partai Demokrat? Dua posisi politik strategis ini tak mungkin bisa didapat Gus Ipul apabila SBY tidak merestui.