Muhammad Nazaruddin selalu saja membuat kehebohan. Tempo lalu dia bersaksi bahwa semua ketua fraksi di DPR menerima uang dari proyek pengadaan e-KTP. [1]
Apa yang disampaikan Nazaruddin bukan sesuatu yang baru. Sebelumnya KPK menyebut ada rencana pemberian "jatah" terkait aliran dana korupsi e-KTP kepada sejumlah parpol. Tiga yang disebut gamblang adalah Partai Golkar, Partai Demokrat dan PDIP. Sisanya dialas dengan "partai-partai lainnya sejumlah Rp 80 Milyar". [2] Artinya, demi penganggaran proyek e-KTP ada rencana agar semua parpol yang memiliki kursi di DPR turut kecipratan.
Herannya, dari 9 parpol di DPR, baru ketua fraksi dari Partai Golkar dan Partai Demokrat yang ciduk KPK. Baru Setya Novanto yang waktu itu menjabat Ketua Fraksi Partai Golkar dan Anas Urbangningrum yang menjabat Ketua Fraksi Partai Demokrat, sebelum mengalihkan kepemimpinannya kepada Jafar Hafsah pasca terpilih sebagai Ketua Umum Partai Demokrat.
Ada dua pertanyaan besar yang menggeliat di benak saya saat ini:
Pertama, apakah dana itu benar-benar ditujukan untuk parpol, atau hanya akal-akalan oknum parpol? Mungkinkah ada sekelompok oknum yang mengatasnamakan "jatah parpol", tetapi sesungguhnya dana itu masuk ke saku mereka. Partai menjadi objek penderita, dikorbankan untuk mengeruk dana siluman tersebut.
Kita sama-sama paham bahwa modus korupsi semacam ini kerap terjadi. Semacam rumor mahar politik itu. Ada oknum yang memalak bacalon kepala daerah agar dapat rekomendasi partainya, dengan alasan ini adalah "kebijakan partai", "jatah partai", atau "akan disetor ke pusat". Namun sesungguhnya, hal ini tak pernah diputuskan oleh partai secara kelembagaan.
Apakah rencana pemberian dana itu---jika benar-benar ada---merupakan permintaan parpol atau cuma akal bulus bebarapa oknum petingginya? Ada oknum serakah di internal parpol yang melakukan tindak korupsi dengan mengatasnamakan parpol secara kelembagaan. Sejauh mana kebenaran ini hendaknya menjadi salah satu pekerjaan rumah KPK.
Kedua, bagaimana dengan Puan Maharani, Ketua Fraksi PDIP---satu partai yang disebut secara gamblang oleh KPK? Pertanyaan ini juga terus bergulat di benak saya.
Penjelasannya begini. Setnov memiliki dua jabatan strategis terkait kasus korupsi ini. Dia adalah ketua Fraksi Partai Golkar di DPR sekaligus Bendahara Umum Partai Golkar saat perkara ini berlangsung.
Sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar, Setnov memiliki kendali atas segala tindak-tanduk anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar, termasuk perkara e-KTP. Apakah Fraksi Partai Golkar akan menerima atau menolak proyek e-KTP berada di bawah kepemimpinan Setnov. Apalagi pada saat itu, Ketua Komisi II DPR diketahui adalah kader Partai Golkar.
Sebagai Bendahara Umum Partai Golkar, Setnov bisa disebut sebagai muara dari "jatah partai". Tersebab yang namanya "sumbangan" untuk Partai Golkar, apalagi yang jumlahnya fantastis, kuat diduga berada dibawah kendali atau minimal sepengetahuan Bendahara Umumnya. Pada titik ini, terkesan wajar saja apabila KPK terkesan mati-matian hendak menjerat Setnov