Geleng-geleng kepala saya membaca survei Dinamika Pilpres 2019 yang dirilis Indo Barometer. Utamanya di sesi potensi kuda hitam. Jadi ceritanya Indo Barometer membuat skenario 3 nama calon presiden.
Indo Barometer masih menilai Jokowi akan head to head dengan Prabowo. Jadi dalam skenario 3 nama itu, Jokowi-Prabowo selalu ada. Namun nalar saya tidak terima saat membaca nama ketiga dalam 5 skenario itu. Ada lima nama yang disebut: Anies Baswedan, Agus Harimurti Yudhoyono, Gatot Nurmantyo, Budi Gunawan, dan Jusuf Kalla.
Kok bisa-bisanya Budi Gunawan dimasukan dalam skenario tiga nama ini?
Empat nama kecuali Budi Gunawan tidak saya pertanyakan. Amat wajar bila mereka masuk ke dalam skenario 3 nama ini. Survei-survei sebelumnya, baik dari Indo Barometer maupun lembaga survey lainnya menegaskan hal yang tak jauh berbeda. Capres alternatif adalah: Anies Baswedan, Agus Harimurti Yudhoyono dan Gatot Nurmantyo.
Perkara nama Jusuf Kalla diangkat pun masih logis. Saat ini Jusuf Kalla menjabat wakil presiden RI. Belum lagi sejarah jejak langkahnya di dunia politik yang tak perlu dipertanyakan.
Lantas, kok bisa-bisanya nama Budi Gunawan muncul?
Bahkan dari 18 besar tentang pilihan capres yang dirilis Indo Barometer tak ada nama Budi Gunawan. Artinya, Budi Gunawan tidak dihitung sebagai capres alternative yang diinginkan rakyat. Dan informasi semacam ini tentu sudah dipahami oleh Indo Barometer.
Seharusnya, jika ingin membuat skenario 3 capres, Indo Barometer memilih nama-nama yang lebih popular---yang setidaknya dari prediksi 18 nama capres alternative. Kok malah Budi Gunawan yang diangkat-angkat? Kok malah Indo Barometer membuat skenario 3 capres dengan menyandingkan nama Jokowi, Prabowo dengan Budi Gunawan?
Bukankah ini survey mengiring? Responden dipaksa untuk memilih antara Jokowi, Prabowo dengan Budi Gunawan. Karena pilihannya cuma tiga, ya---apa boleh buat!
Kita tahu popularitas Budi Gunawan banyak didongkrak oleh "kesalahan". Budi Gunawan direkomendasikan sebagai menteri, tapi ditolak karena punya rapor merah KPK. Ingin maju Kapolri, terjegal lagi gara-gara rapor merah KPK. Lalu kehebohan muncul, yang diselesaikan dengan pemberian posisi Wakapolri kepada Budi Gunawan.
Sekarang Budi Gunawan menjabat sebagai Kepala Badan Intelejen Negara (BIN). Bukankah kita sama-sama tahu lembaga apakah BIN itu? Intelejen selalu bergerak dalam senyap, dalam samar-samar, bukan dalam keriuhan seperti para politisi.
Adalah kewajaran mereka yang sudah menjabat Kepala BIN, dari kepala BIN ke1 sampai Sutiyso kepala BIN sebelum Budi Gunawan, harus tutup buku ambisi. Mereka mustahil didorong untuk menjadi RI 2 atau RI 1. Tuntutan pekerjaan intelejen membuat mereka tidak popular.
Satu-satunya popularitas Budi Gunawan, menurut saya, adalah insiden Lukas Enembe yang konon dipaksa Budi Gunawan cs untuk memenangkan Jokowi dan PDIP di Papua. Lain dari itu tidak!
Lalu mengapa nama Budi Gunawan tetap muncul? Nalar saya menjawab ini ada kaitannya dengan rumor kedekatan Budi Gunawan dan Megawati. Logikanya kalau Megawati sudah merestui Budi Gunawan mengejar RI 1 atau RI 2, sudah pasti mesin politik PDIP akan mendorong Budi Gunawan masuk bursa capres. Dan sebagai pemenang pileg 2014, PDIP memiliki kemampuan untuk melakukan scenario ini.
Barangkali rumor inilah yang ditangkap oleh Indo Barometer. Ibaratnya iseng-iseng berhadiah. Pertama, membaca sejauh mana elektabilitas Budi Gunawan. Kedua, mempopulerkan nama Budi Gunawan sebagai capres alternative.
Namun setelah membaca survey Indo Barometer ini, keyakinan saya semakin penuh. Skenario memajukan Budi Gunawan amat dipaksakan. Buktinya, bahkan Budi Gunawan tidak duduk di peringkat 18 dari capres alternative yang diinginkan masyarakat. Sosok inikah yang hendak didorong PDIP?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H