Mohon tunggu...
Rahmat Thayib
Rahmat Thayib Mohon Tunggu... Penulis - Sekadar bersikap, berharap tuna silap.

Sekadar bersikap, berharap tuna silap. Kumpulan tulisan saya: http://rahmathayib.blogspot.co.id/

Selanjutnya

Tutup

Politik

Massa Bayaran, Jangan Mental Dagang-lah!

19 November 2016   17:59 Diperbarui: 19 November 2016   18:35 1241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Mengapa sebuah gunung seperti gunung Kelud meledak ? Ia meledak oleh karena lobang kepundannya tersumbat. Ia meledak oleh karena tidak ada jalan bagi kekuatan-kekuatan yang terpendam untuk membebaskan dirinya. Kekuatan-kekuatan yang terpendam itu bertumpuk sedikit demi sedikit dan...........DORRR. Keseluruhan itu meletus.” –Bung Karno

Demikian ilustrasi Sukarno ikhwal hasrat yang mampat, dan akhirnya meledak. Dan hari ini kita tahu bahwa ilustrasi itu benar adanya. Hasrat ingin cepat merdeka kaum muda Indonesia, telah membawa mereka menculik Sukarno Hatta ke Rengasdengklok. Hasrat itu pula yang membuat para daidanco dan syudanco PETA di kawasan Jakarta siap mengobarkan peperangan melawan Jepang pada Agustus itu.

Dalam kacamata saya, hasrat itu pula yang menyatukan ratusan ribu massa pada unjukrasa 4 November silam. Hasrat yang tertekan. Hasrat untuk membela sesuatu yang diyakini penuh. Sungguh aksi yang luar-biasa. Pelbagai media menaksir unjukrasa itu diikuti oleh 50 ribu-200 ribu orang. Sayangnya hasrat ini lantas ditelikung dengan tudingan demo bayaran.

Menghimpun ratusan orang dalam aksi unjuk rasa memang sulit, apalagi sampai ratusan ribu orang. Bukan pekerjaan yang gampang, tetapi bukan mustahil. Sejarah kita mencatat pelbagai gelombang puncak unjukrasa tersebut.

Demontrasi Lapangan Ikada misalnya. Pandangan mata seorang Ambon pengikut NICA mencatat, sekitar 15 ribu orang hadir. Bayangkan pusingnya kaum muda Jakarta jika mereka yang hadir itu harus dibayar? Unjukrasa 1998 juga demikian. Apa mereka dibayar?

Lantas, bagaimana dengan konser salam 2 jari? Konon 100 ribu orang hadir? Apakah mereka dibayar? Jika kita bisa membayangkan ada keriuhan ribuan orang berjoget dalam musik yang mengentak; mengapa tidak bisa pula ada mereka yang berduyun-duyun ikhlas saku, hadir untuk membela keyakinannya?

Betul, yang namanya unjukrasa besar-besaran memang butuh logistik; buat makan dan transportasi. Bukankah sewaktu unjukrasa silam ada dapur-dapur umum yang dibuka? Ada mereka yang membiarkan mobilnya dijejal-jejal, biar kian banyak pengunjukrasa terangkat?

Ini sudah galib. Azas bahu-membahu dalam perjuangan. Tetapi mengeneralisasi kehadiran massa 4 November silam semata-mata karena logistik tentu keterlaluan.

Tudingan tersebut bukan hanya mengoyak tenunan keikhlasan untuk berjuang, tetapi suatu upaya untuk mencemari tujuan unjukrasa yang hendak dicapai.

Kenapa sulit sekali mengaku bahwa ikatan emosi dan spirit yang sama dapat menyatukan massa. Sekonyong-konyong uang? Ah, saya tak habis pikir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun