Mohon tunggu...
Rahmat Haqiqi
Rahmat Haqiqi Mohon Tunggu... Novelis - Penulis

Penulis Fiksi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kenapa Harus Berakhir Secepat Ini

6 Agustus 2024   22:51 Diperbarui: 6 Agustus 2024   23:03 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
OpenClipart-Vectors, edit pribadi

"Jadi ini pertemuan kita untuk yang terakhir kalinya". kata Angelii dengan mencoba untuk tetap tegar walaupun suaranya sudah terdengar parau.

Baqri tak menjawab

"Kamu nggak harus mengqurbankan diri untuk orang-orang itu". Kata Angeli berusaha membujuk Baqri. "Kita bisa saja lari ketengah hutan itu dan hidup bersama selamanya". Mata Angeli sudah tak mampu membendung air matanya.

"Tidak Angeli, ini bukan hanya sekedar menjadi qurban lalu mati begitu saja," Kata Baqri menjelaskan "Kamu tidak bisa memandang semua orang memiliki sifat yang sama, kakek itu berbeda. Aku merasakannya". Tekad Baqri benar-benar sudah kuat. Tak ada yang bisa menghalanginya, bahkan Angeli sekalipun. "Terimaksaih Angeli aku akan selalu mengingatmu".

Satu tahun yang lalu di sebuah padang rumput yang luas dengan pemandangan gunung Semeru yang menjulang tinggi di sebrang jurang itu, mereka bertemu. Baqri tinggal di sebuah kandang sederhana dengan dinding dari anyaman bambu atau gedek kata orang-orang disana dan tiang-tiang dari bambu yang sudah mulai dimakan rayap. Majikannya adalah kakek-kakek sebatangkara yang tak memeiliki keturunan. Istrinya sudah meninggal satu tahun yang lalu saat Baqri masih kecil.

Kakek dan Nenek dulunya adalah sepasang suami istri yang sudah hidup Bersama selama lebih setengah abad. Mereka adalah seorang pekerja keras walaupun hanya sebatas buruh di sawah milik seorang Juragan Sapi di desa itu. Kakek dan Nenek dipercaya untuk menggarap sawahnya sejak lama, menurut Juragan Sapi kakek dan nenek adalah orang yang sangat bisa dipercaya, selain telaten dalam pekerjaannya mereka juga dikenal sangat taat dengan agamanya.

Baca juga: Tepi Kehidupan

Suatu hari dengan hawa yang cukup dingin khas daerah pegunungan di satu subuh, kakek tetap memaksakan diri untuk pergi ke masjid tak jauh dari rumahnya walaupun tadi malam ia tak bisa tidur karena demam yang ia rasakan. Padahal saat itu Nenek sudah melarangnya, tapi kakek masih tetap kekeh dengan istiqomahnya.

"Sudah lah kek, kamu ini sudah tua. Lebih baik sekarang istirahat dulu, solat dirumah. Di luar sangat dingin, kasihan tubuhmu". Kata Nenek berusaha menegur si Kakek

"Kata siapa aku tua,.. Ya memang umurku ini sudah enam puluh-an tapi asal nenek tau tenaga Kakek masih seperti awal kita menikah". Jawab kakek sambil berpose layaknya atlit binaragawan yang menunjukkan otot dilengannya. Walupun bedanya, lengan kakek sudah tinggal tulang yang ditutup kulit saja. Wajahnya sedikit pucat tapi ia berusaha menutupi sambil tersenyum sumringah dengan menampakkan giginya yang tinggal dua dibagian depan ke hadapan Istrinya.

"Hah..., ya sudah. Sudah tua tapi banyak tingkah. Ini pakai jaketnya, kita berangkat ke masjid". Kata Nenek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun