Beliau hanya tersenyum yang saya artikan setuju.
Dengan sigap aku melakukan selfi bersama beliau. Saat itu fenomena selfi bareng presiden belum seperti saat ini. Aksiku mengundang tawa tamu lain.
Pertemuan kedua berlangsung di Istana Negara. Bersama rombongan kompasianer, kami diundang makan siang bersama sebagai ungkapan maaf tak dapat hadir di acara kompasianival. Seperti biasa, kami sudah duduk menunggu kehadiran beliau.Â
Saat memasuki ruang acara, beliau duduk sebentar lalu diminta memberi kata sambutan oleh MC. Namun apa yang terjadi? Alih-alih sambutan, beliau langsung mengajak semua undangan untuk makan karena sudah lapar. Untuk kedua kalinya aku terkesan di pertemuan kedua ini. Natural dan tanpa basa-basi. Bahkan istana presiden yang sakral itupun tak membuatnya harus ikut aturan protokoler. Tak ada kekakuan atau jaga image (jaim). Ketulusannya bukan drama dan tak dibuat-buat. Candaan terlontar selama memberi sambutan menghilangkan jarak antara pemimpin dan rakyat yang dipimpinnya.
Dulu saat melewati jalan pantura yang sepertinya proyek abadi, aku selalu menggumam, "Kapan ya ada pemimpin yang bisa  membuat jalan tol agar kami pengguna jalan yang  suka berpetualang menjadi lebih mudah berpetualang ke pelosok  Jawa"  Akhirnya terwujud di  era Pak Jokowi.Â
Pembangunan infrastruktur hingga pelosok, harga berfluktuasi mengikuti pasar, kebebasan pers, kebijakan pro rakyat kecil, dan masih banyak prestasi lain yang membuatku sangat yakin akan pilihanku. Itu sudah lebih dari cukup. Aku tak perlu dipengaruhi oleh apa dan siapapun. Cukup menyaksikan yang kasat mata dan bukan buaian janji.
Mungkin Pak Jokowi bukan orang dan pemimpin yang sempurna. Setiap kita punya kekurangan. Sebagai warga bangsa, aku tak butuh pemimpin yang sempurna. Yang aku butuhkan hanya pemimpin yang sanggup bekerja demi kesejahteraan rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin yang merakyat. Pemimpin yang  hasil kerjanya sudah terlihat nyata. Katakanlah banyak janji di masa kampanye dulu yang belum terpenuhi, namun aku sangat sadar permasalahan bangsa Indonesia teramat sangat kompleks. Permasalahan yang tak cukup waktu 5 tahun untuk membereskannya. Permasalahan yang diwariskan sebagian pemimpin sebelumnya beserta keluarga dan kroninya.Â
Memilih pemimpin adalah hak, demikian halnya dengan pilihan pemimpin yang akan diambil. Yang dibutuhkan hanya rasa dan tindakan saling menghargai pilihan yang diambil. Berbeda pilihan tak akan membuat dunia kita kiamat. Setelah memilih, kita tetap harus kerja keras demi melanjutkan hidup masing-masing, tak peduli siapapun yang terpilih.Â
Teriring semoga pilpres mendatang menjadi pembelajaran dan pendewasaan bagi kita semua untuk dewasa berdemokrasi meski berbeda pilihan.