Bagaimana rasanya menggantungkan nyawa di seutas tali dalam keadaan gelap gulita? Benarkah ada suara anak kecil tertawa dari dasar gua saat jam menunjukkan pukul 01.30 dini hari? Hayuk ikut jalan-jalan masuk ke dalam perut bumi di Gua Keraton.
Berawal dari latihan Single Rope Technique (SRT) di rumah, terbersit ide untuk mempraktekkannya di lapangan dengan melakukan caving. Johan, rekan yang mengajari dan melatihku saat itu mengusulkan untuk melakukannya di Gua Ciduren. Gua yang konon (hanya) berkedalaman sekitar 17 meter. Malam itu juga, Johan segera menghubungi rekannya yang bermukim di Tajur. Sebagai seseorang yang expert di bidang Rope Access, tak sulit baginya untuk mendapatkan informasi. Basa basi sedikit, langsung ke tujuan dan kesepakatan tercapai. Deal! Kami berdua akan ke Gua Ciduren.
Alat segera di kumpulkan (baca : dipinjam.. hehehe) dari berbagai pihak. Johan mengusulkan untuk mengajak salah seorang rekan dari Indonesia Climbing Expedition (ICE) karena akan meminjam 2 set alatnya, aku setuju. Kami hanya punya waktu 2 hari untuk mengumpulkan alat. Jaya, rekan Johan yang bermukim di Tajur bersedia meminjamkan 1 set alatnya. Jadilah kami bertiga akan memiliki 4 set alat, termasuk alat rescue dan evakuasi yang di siapkan Johan.
Sekedar share saja bahwa faktor kelengkapan alat adalah hal mutlak dan wajib dilengkapi sebelum keberangkatan. Penelusuran gua adalah aktifitas yang sangat beresiko tinggi dan segala sesuatunya harus diperhitungkan. Stamina yang fit, peralatan lengkap, pengetahuan tentang medan gua yang akan di telusuri serta skill yang memadai adalah wajib hukumnya.
Kami bertiga, aku, Johan dan salah seorang kerabatnya tiba di Base Camp Linggih Alam yang terletak di Kampung Pekapuran Tajur sekitar jam 3 sore. Ncek, rekan dari ICE akan menyusul karena masih ada pekerjaan yang harus dia selesaikan di Jakarta. Di Linggih Alam kami bertemu Jaya, rekan yang akan mengantar kami menelusuri Gua Ciduren.
Setelah mengobrol cukup lama, terungkap bahwa Gua Ciduren terletak tak jauh dari Gua Keraton. Gua yang dulu pernah aku dan rekan-rekan di Ragunan Climbing Club (RCC) pernah akan kunjungi namun selalu batal karena berbagai penyebab. Aku cukup surprise saat Johan bertanya, “Bagaimana, kita putar haluan ke Gua Keraton?” Pertanyaan itu langsung aku jawab dengan antusias, “Kalau memungkinkan, kenapa tidak?”
Ibarat sedang berlayar, koordinat tujuan langsung kami rubah haluan menuju Gua Keraton! Gua vertikal legendaris berkedalaman sekitar 85 meter. Jaya dan rekan-rekan Linggih Alam langsung bergerak membuat surat perijinan dan mengontak Karang Taruna Leuwi Karet. Beruntung, malam itu tak ada team yang akan masuk ke Gua Keraton. Sekedar berbagi bahwa untuk menelusuri Gua Keraton, diperlukan ijin dari pengelola setempat dalam hal ini Karang Taruna Leuwi Karet. Ijin itu harus diurus jauh-jauh hari sebelumnya, bisa langsung atau dengan bantuan rekan-rekan di Linggih Alam. Hal itu bertujuan untuk menghindari adanya penumpukan team di hari yang sama saat melakukan penelusuran, mengingat keterbatasan area beraktifitas di dalam gua.
Ijin sudah dikantongi, sisa menunggu Ncek tiba dari Jakarta saat sebuah kendala baru timbul. Alat yang rencananya akan dipinjam dari rekan-rekan Linggih Alam ternyata tak bisa digunakan. Di saat yang bersamaan, rekan-rekan Linggih Alam juga akan melakukan pelatihan pemanjatan di Tebing Jeger, tak jauh dari lokasi basecamp. The show must go on, rencana tetap harus dilanjutkan. Setidaknya kami masih memiliki 3 set alat lengkap.
Jarum jam menunjukkan pukul 10 malam saat kami bergerak meninggalkan basecamp. Kami terlebih dahulu mampir ke tempat Pak Eman untuk membayar biaya registrasi ke Karang Taruna Leuwi Karet. Setelah semuanya beres, kami bergerak melewati rumah-rumah penduduk yang sepertinya sudah terbang kea lam mimpi. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 11.00 malam.
Malam yang dingin meski angin seperti tak berhembus, hanya ditemani suara jangkrik dan derap langkah sepatu bot yang kami kenakan menyusuri jalan beton menanjak. Dikomandani Jaya dan Bandot, rekan dari Linggih Alam yang mendampingi di susul Johan dan kerabatnya Eko, Ncek dan Aku berjalan paling terakhir menikmati kesenyapan alam tanah Sunda yang baru saja diguyur hujan lebat. Meski malam terasa dingin, keringat tetap mengucur dengan derasnya karena selain trek yang menanjak, di bahu kami juga terdapat beban peralatan yang cukup berat. Tali sepanjang 150 meter, puluhan carabiner, ascender dan descender, foot loop, wear pack, harness, helm dan peralatan lainnya. Aku sendiri harus memanggul carrier yang lumayan berat berisi peralatan…konsumsi! Hehehe