Bagaimana rasanya menginap di hotel yang konon angker namun menyimpan sejarah perjuangan dan kepahlawanan Bangsa Indonesia? Simak ulasannya…
Menginap di Hotel Majapahit yang dulunya bernama Hotel Oranje ini sudah lama aku dambakan. Sejak beberapa kali melakukan duty trip ke kota Pahlawan dan melintas di jalan Tunjungan tempat hotel ini berada, aku selalu bergumam, “suatu saat aku akan menginap di hotel ini”. Entah kenapa, sejak membaca sejarah tentang kepahlawanan para Arek-arek Suroboyo dimana hotel ini dianggap memegang peranan penting, keinginan untuk menginap di sana langsung muncul. Ditambah lagi saat berselancar di dunia maya, beberapa tulisan menyebutkan bahwa hotel ini cukup ‘angker’. Benarkah?
Hingga suatu waktu keinginan itu tercapai. Aku berkesempatan menginap selama 3 malam dan aku sudah memesan kamar
executive suite. Konon Hotel ini memiliki arsitektur dan interior menarik bergaya kolonial berpadu dengan ornament
furniture etnis Jawa jaman dulu. Tak heran jika beberapa film kerap menggunakannya sebagai lokasi
shooting diantaranya yang terkenal adalah film
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk. Yang terpenting, hotel ini pernah menjadi saksi yang sangat penting dalam sejarah kepahlawanan Kota
Surabaya, hal itu yang ingin aku tahu dan lihat lebih jauh.
Kesan dan nuansa kolonial sudah terasa sejak kita berdiri di depan hotel di pinggir Jalan Tunjungan ini. Gaya
Art Deco masih dipertahankan sesuai bentuk aslinya saat pertama dibangun tahun 1910. Melangkah ke dalam
lobby untuk melakukan
check in, aku merasakan bulu kudukku berdiri. Nuansa sakral langsung terasa saat berada di ruang dimana terpajang beberapa ornament dari jaman dulu. Yang paling mencolok adalah sebuah mobil
Cabriolet Coupe merk
Austin Seven hijau milik Bung Tomo yang digunakan saat serangan 10 Nopember 1945. Mobil keluaran Inggris tahun 1937 itu menjadi
center of point di lobby hotel yang dulunya juga bernama Hotel Yamato.
Ornament dan nuansa Kolonial berpadu dengan ornament etnis Jawa sangat terasa saat melewati lorong-lorong menuju ke kamar. Sebuah taman indah tersaji di beberapa sudut halaman tengah hotel. Aku menempati kamar di lantai bawah dengan teras yang memiliki pemandangan langsung menghadap ke
president suite dan
Adika Ball Room yang menurut beberapa tulisan sering terlihat penampakan hantu di malam hari. Ini yang kita coba buktikan nanti malam…
Aku seperti memasuki sebuah ruang dengan dimensi masa lalu saat pertama melangkahkan kaki ke dalam kamar. Meski tak semuanya bergaya kolonial, ruangan yang didominasi furniture dari kayu sungguh membuatku merasa kembali ke jaman dulu. Pencahayaan yang hanya berasal dari lampu duduk berpadu dengan sofa dan meja kerja serta ranjang kayu berlapis bed cover putih mengantarkan pikiranku ke masa lalu. Yah, di hotel inilah para tentara sekutu Belanda yang tergabung dalam
Allied Forces Netherlands East Indies (AFNEI) pernah menginap. Sejak saat itulah hotel itu menjadi Markas Bantuan Rehabilitasi untuk Tawanan Perang dan Interniran atau
Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees (RAPWI). (Sumber : Wikipedia Indonesia).
Malam harinya usai menikmati
wisata kuliner di Kota Surabaya, aku segera kembali ke hotel. Aku sudah berencana untuk ‘begadang’ di teras untuk membuktikan berita atau tulisan di beberapa blog yang menyebutkan bahwa hotel ini angker. Konon kerap terdengar suara tangisan ataupun penampakan hantu berwujud anak kecil dan orang belanda dari beberapa ruangan.
Jam menunjukkan pukul 11 malam saat aku mulai duduk di teras sambil membaca buku. Biasanya aku suka membaca buku sambil mendengarkan musik lewat
headset namun kali ini aku sengaja tidak melakukannya. Aku ingin mendengarkan dan merasakan
resonansi yang mungkin saja bergema di tempat itu. Suasana hotel sudah mulai sepi. Tak ada suara kecuali suara
fountain (air mancur) di tengah-tengah taman. Sesekali aku melayangkan pandangan ke beberapa bagian hotel. Yang tampak hanya beberapa orang petugas hotel sedang bertugas. Waktu terus berlalu dan aku tetap membaca ditemani secangkir teh yang sudah 2 kali aku isi ulang.
Jam sudah menunjukkan pukul 12 malam lewat 15 menit namun aku tak mendengar suara apapun. Hanya suara desir angin semilir sesekali terdengar. Aku tetap melanjutkan aktifitas membaca. Saat jam menunjukkan pukul 1 malam dan masih tak mendengar atau melihat apapun padahal hotel itu konon kabarnya ‘angker’ akhirnya aku memutuskan untuk masuk kamar dan tidur. Mungkin ‘mereka’ yang sering di bicarakan di blog dalam bentuk ‘katanya’ malam itu sedang tidak ingin diganggu atau menggangguku atau bahkan mereka memang tak pernah ada.
Lihat Travel Story Selengkapnya