Mohon tunggu...
Rahmat Hadi
Rahmat Hadi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

@rahmathadi

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Oro-oro Ombo Gunung Semeru, Riwayatmu Kini

16 Oktober 2015   11:08 Diperbarui: 16 Oktober 2015   11:08 1808
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebakaran hebat yang melanda sekitar 10 Ha kawasan hutan Gunung Semeru yang masuk dalam bagian Kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) Agustus lalu telah membumi hanguskan salah satu area favorit pendaki di Gunung Semeru. Oro-oro Ombo, kawasan sabana yang berisikan Verbena Brasiliensis, bunga berwarna ungu mirip bunga Lavender adalah tempat indah yang senantiasa di rindukan pendaki gunung berketinggian 3676 Meter di Atas Permukaan Laut (MDPL) itu. Setiap pendaki akan melintas di tengah hamparan bunga asal negeri Samba Brasil itu sesaat setelah melewati tanjakan cinta selepas Ranu Kumbolo menuju Cemoro Kandang.

Saat berkesempatan mendaki Gunung Semeru weekend kemarin, pemandangan indah itu telah berganti dengan pemandangan gersang dihuni pucuk-pucuk yang mengering kecoklatan. Rumput yang ikut terbakar telah bertunas kembali menghadirkan nuansa warna hijau, namun sang primadona masih terkulai dalam kekeringan setelah kebakaran. Bunga bersifat parasit itu memang tak bisa dengan segera me – recover dirinya untuk tumbuh kembali seperti sediakala, mungkin membutuhkan waktu beberapa bulan. Meskipun tetap menghadirkan nuansa keindahan bernuansa eksotis, namun pastinya akan lebih indah andai warna ungu tetap mendominasi kawasan Sabana itu.

Seperti diketahui kebakaran lahan dan hutan termasuk gunung menjadi ‘momok’ menakutkan bagi bangsa tercinta ini. Kemarau panjang akibat dampak dari El Nino tahun ini telah menjadikan lahan dan tanah kekurangan air hingga tanaman menjadi  kering dan mati. Kondisi itu mengakibatkan api dan kebakaran lebih mudah ‘tersulut’. Sebagai akibatnya, vegetasi penunjang kehidupan akan mati dan asap bisa menjadi sebuah bencana dan menewaskan orang-orang di sekitarnya bahkan di tempat jauh yang terkena dampaknya pun bisa dibuat ‘menderita’. Kuatirnya lagi jika kondisi itu berlangsung secara simultan, banyak gunung yang akan di tutup untuk pendakian setiap musim kemarau tiba. Bagi mereka yang menjadikan gunung hanya sebagai tempat ‘wisata’ mungkin tak akan menjadi hal berarti, berbeda bagi mereka yang telah menjadikan gunung sebagai ‘rumah’ kedua. Penutupan jalur pendakian itu akan terasa ‘menyiksa’.

Oleh karenanya pihak pemerintah dan pihak terkait lainnya telah melakukan kampanye untuk menghindari pembakaran lahan dan hutan agar kebakaran bisa di cegah. Beberapa pihak pengelola pendakian termasuk di TNBTS telah mewanti-wanti para pengunjung/wisatawan ataupun pendaki untuk tidak membuat api unggun ataupun membuang puntung rokok sembarangan selama berada di gunung atau hutan sebagai bentuk tindakan pencegahan. Sebagai salah satu persyaratan mengunjungi Gunung Semeru, baik hanya untuk melakukan camping di ranu Kumbolo ataupun akan mendaki hingga puncak, semua pengunjung (wisatawan ataupun pendaki) wajib mengikuti briefing yang dilakukan salah satu komunitas sukarelawan. Dalam brifing itu sudah di jelaskan panjang lebar mengenai dampak pembakaran khususnya pembuatan api unggun. Meskipun secara pribadi, ada 1 hal yang aku kurang setuju dimana disebutkan bahwa hanya masyarakat lokal (porter) yang boleh membuat api dan para pengunjung diminta bergabung dengan mereka andai ingin ‘berhangat-hangat’ saat kedinginan.

Ironisnya, meski telah di wanti-wanti ataupun diberikan briefing ataupun pengumuman melalui banner, baliho atau media massa namun masih saja himbauan itu tidak diindahkan oleh beberapa ‘oknum’. Saat nge-camp (berkemah) di Ranu Kumbolo 3 hari lalu, terlihat masih ada pengunjung (wisatawan, pendaki atau masyarakat lokal) yang membuat api unggun untuk menghangatkan badan melawan suhu di Ranu Kumbolo yang memang terkenal dingin itu. Meskipun (mungkin) mereka bisa berdalih bahwa api unggun yang dibuat ‘hanya’ api kecil saja dan mereka bisa memadamkannya dengan mudah, namun sepertinya ada yang terlupa bahwa hal terburuk bisa saja terjadi dari sesuatu yang awalnya terlihat kecil dan sepele. Tak peduli siapapun yang membuatnya, apakah dia pendaki, wisatawan ataupun masyarakat lokal/ porter! Stop pembakaran di gunung dan hutan oleh siapapun. Cukup hingga tahun ini saja gunung dan hutan di negeri ini sudah 'panen' bencana kebakaran. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun