Ingin tahu rasanya merayap di tebing sambil mendengar gemuruh air terjun dan menikmati semilir angin sejuk Tanah Sunda? Atau ingin merasakan gejolak adrenalin off-road yang rada-rada horror seorang diri di tengah hutan gelap gulita? "Please Fasten your seatbelt and let’s go!!!"
Aku kembali berpetualang lagi weekend ini. Jika beberapa bulan terakhir ini banyak menghabiskan weekend di gunung, kali ini mencoba melakukan aktifitas yang sudah hampir setahun belakangan ini tak pernah aku lakukan, panjat tebing atau rock climbing. Terakhir kali merayap di tebing saat menginap semalam di tebing Gunung Parang Purwakarta lebih setahun yang lalu. Bisa lihat link beritanya di Semalam di Tebing Gunung Parang
Meski sudah pernah dan beberapa kali melakukan panjat tebing ataupun panjat dinding, namun hal itu lebih ke pemanjatan bersifat wisata atau fun climbing. Kali ini aku ingin lebih ‘memperdalam’ dengan mempelajari dan mendalami ilmu yang berhubungan dengan salah satu aktifitas ekstrem ini. Oleh karenanya aku ikut salah satu program Sekolah Panjat Tebing Merah Putih (SPTMP) yang berpusat di Bandung.
Pelatihan Panjat Tebing Tingkat 1 demikian nama program yang di gadang oleh SPTMP yang bertujuan untuk memasyarakatkan panjat tebing. Hal ini sejalan dengan cita-cita SPTMP untuk ‘mencetak’ 1 juta pemanjat tebing dengan slogan ‘Gerakan 1 Juta Pemanjat Tebing Untuk Indonesia’. Dipimpin oleh Kang Tedi Ixdiana selaku kepala sekolah, nama yang sudah tidak asing dalam dunia panjat tebing Indonesia dan Vertical Rescue, didukung pula oleh instruktur berpengalaman. Pernah menyaksikan Acara Pemanjatan Puncak Cartenz di Papua sekaligus pembuatan jembatan tertinggi di Indonesia dari tali baja saat peringatan 70 tahun Indonesia merdeka bulan Agustus lalu? Itu dilakukan oleh Kang Tedi dan Team hebat dan luar biasa dari SPTMP.
Aku melakukan registrasi via online dari sebuah brosur yang ada di timeline salah seorang teman di Facebook beberapa hari sebelum tanggal 18 – 20 September 2015, waktu pelaksanaan. Sesuai brosur, acara pelatihan panjat tebing ini akan dilakukan di Curug Cimarinjung berketinggian 45 meter, salah satu zona dalam Kawasan Geopark Ciletuh di Sukabumi, Jawa Barat.
Usai shalat jumat di Masjid Agung Sukabumi, aku segera meluncur bersama Qashwa, tunggangan kesayangan rekan berpetualang sejatiku. Sejak meninggalkan Kota Sukabumi, kami sudah dihadang dengan perbaikan jalan di beberapa ruas menuju ke Surade lewat jalur Jampang Tengah dan Jampang Kulon. Jarak 85 km ditempuh selama 4 jam. Aku tiba di Let’s Coffee Café di Surade Jam 5 sore yang sudah ditetapkan sebagai meeting point. Aku kaget setiba di sana karena tak ada siapapun selain petugas café. Lebih kaget lagi saat aku di info kalau peserta dan panitia panjat tebing sudah berangkat semalam sebelumya. Padahal saat aku berbicara via telepon usai mentransfer biaya registrasi, aku diinfo oleh Kang Firman salah seorang panitia kalau rombongan akan berangkat Jumat sore. Sepertinya ada perubahan rencana dan aku tidak mendapat update. Aku kembali menghubungi Kang Firman dan mulai was-was karena dia tidak mengangkat telepon selama 2 x sementara petugas café yang ada di sana tak tahu tempat persisnya.
Untungnya Kang Firman menelepon dan aku memintanya untuk share location via whatsapp. Sesaat setelah menerima peta lokasi acara, aku segera meluncur. Saat itu jam 5 lewat 10 menit. Waktu tempuh yang ditunjukkan google maps adalah 50 menit. “Masih bisa tiba di sana sebelum gelap!” Begitu pikirku. Segera aku bawa Qashwa menyusuri jalan-jalan desa sesuai route yang ada di handphone. Jalan aspal berganti jalan pengerasan dan semakin masuk ke dalam kondisi jalanan semakin ‘berbeda’. Saat menyusuri jalan berbatu dan naik turun bukit, rumah warga desa yang tadinya berjejer sudah mulai menghilang satu persatu.
Dari kejauhan terlihat sunset sudah mulai terlihat pertanda gelap akan turun mengawali malam. Waktu tempuh di peta masih menunjukkan 30 menit. Artinya masih jauh, karena aku sudah menyetir selama 1 jam namun waktu tempuh di peta hanya berkurang 20 menit. Ada rasa was-was di pikiranku. Selain karena kondisi jalan berbatu yang naik turun dan sempit, juga terdapat banyak percabangan.
Route menuju ke Cimarinjung lewat Cikadal mulai diselimuti kegelapan. Rumah penduduk mulai jarang dan di beberapa titik kiri kanan jalan di tumbuhi hutan. Jam sudah menunjukkan pukul 6.20 malam. Saat sedang berjuang menghadapi jalan yang berlubang dan berbatu tiba-tiba… handphone mati! Suasana sekitar gelap gulita dan hanya diterangi cahaya lampu mobil. Ternyata handphone lowbat. Power bank tak terbawa, dan charger mobil tak berfungsi, sementara jalan banyak percabangan.
Mau bertanya ke penduduk desa tapi tak ada orang ataupun rumah. Aku berpikiran untuk kembali ke desa terakhir dimana masih terdapat listrik namun seingatku sudah cukup jauh. Namun mengingat kondisi jalannya dan hari semakin gelap…Arghhhh lengkap sudah penderitaanku.. Akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanan mengandalkan insting dan perasaan. Semoga secepatnya bisa menemukan rumah yang ada listriknya dan aku bisa menumpang charge handphone. Dalam kegelapan malam, aku merasa seperti berada di ‘in the middle of nowhere’.
Berselang 20 menit kemudian, dari kejauhan aku melihat setitik cahaya. Arghhh.. sebuah desa namun hampir semua rumah tertutup. Aku tetap menyetir. Aku berpikir jika tak ada rumah yang terbuka maka aku akan berhenti di rumah terakhir lalu mengetuknya untuk bertanya atau numpang nge-charge handphone. Untungnya tak lama kemudian ada sebuah warung kelontong dengan seorang bapak sedang duduk di atas bale bambu. Aku berhenti dan (pura-pura) membeli minuman botol (padahal di mobil banyak minuman).
AKu bertanya tentang posisi Ciletuh (saat itu aku belum tahu bahwa lokasi tepatnya di Curug Cimarinjung) namun jawaban sang bapak malah membuat aku bingung. Menurut bapak itu, Ciletuh itu luas dan saat aku bilang ada air terjun di jawab lagi kalau air terjun di sekitar situ banyak. Kembali aku bilang kalau aku mencari lokasi orang-orang sering panjat tebing, oleh bapaknya di jawab lagi kalau di sekitar situ banyak tebing atau gunung batu. Matilah awak!
Akhirnya aku meminta izin untuk numpang shalat maghrib dan menyampaikan maksud dan tujuan utama, nge-charge handphone. Untungnya sang bapak beserta istrinya sangat baik dengan senang hati nge-charge handphone-ku dan mempersiapkan tempat shalat di kamar tidur mereka. Rumah mereka hanya 3 ruangan, area warung, kamar tidur dan dapur.
Usai shalat aku kembali mengobrol dengan sang Bapak sambil menunggu battery handphone terisi. Setengah jam berselang, aku berpamitan kepada bapak dan ibu yang baik hati itu dan segera meyalakan handphone kembali. Battery sudah terisi lebih dari 50% namun masalah baru muncul, tak ada signal! Huffttt.. Tak ada pilihan lain, perjalanan aku lanjutkan karena sudah jam 7 lewat 15 menit. Aku hanya berharap agar GPS handphone bisa kembali on. Untungnya setelah bergerak sekitar 10 menit, aku kembali dapat signal dan GPS kembali berfungsi. Tepat pukul 8 malam, aku tiba di lokasi camping dan bertemu dengan Kang Firman.
Aku segera melakukan registrasi ulang dan mendirikan tenda. Terlihat peserta lain sudah kembali berkumpul di tengah area camping untuk mendapatkan materi pelatihan. Aku bergabung setelah membereskan registrasi ulang dan makan malam.
Peserta pelatihan SPTMP angkatan ke 57 ini diikuti 32 peserta dari beberapa daerah. Selain dari Jakarta dan Bekasi, peserta juga berasal dari Garut dan Sukabumi termasuk peserta dari lokasi sekitar Kawasan Geopark Ciletuh. Selain untuk memasyarakatkan dan mencetak 1 juta pemanjat tebing dari seluruh Indonesia, hal itu juga merupakan bentuk sumbangsih SPTMP bagi masyarakat lokal. Tujuannya agar mereka khususnya kaum muda dapat menjadi pelopor kegiatan panjat tebing sekaligus menjadi pemandu masyarakat atau wisatawan yang datang ke kawasan Cimarinjung.
Tangan sudah gemetar mencengkeram lekukan tebing, demikian juga dengan kaki yang hanya bertumpu pada cekungan tebing yang lain. Suara rekan-rekan yang memberiku semangat ditambah suara gemuruh air terjun seperti membakar semangatku. Dengan sekuat tenaga aku mencoba mendorong badan dengan ujung kaki sambil berteriak “pull (tarik)” untuk meraih salah satu runner dan mengaitkan tali yang aku bawa dan berhasil. Meski dengan penuh perjuangan akhirnya aku bisa mencapai puncak jalur yang sudah disiapkan untuk latihan panjat hari itu. Sesaat setelah mengaitkan tali di runner terakhir, aku menyempatkan diri untuk melihat pemandangan dari atas.
Subhanallah, pemandangan indah kembali tersaji di hadapanku. Hamparan laut pantai selatan jawa berpadu dengan area persawahan dikelilingi perbukitan batu laksana lukisan alam tanah Sunda yang sangat mempesona. Air bening yang terjun dengan suara gemuruh yang menggelora membuat suasana pemanjatan terasa berbeda denan pemanjatan di tempat lain. Tak heran jika saat ini pemerintah setempat sedang mengusulkan dan mengupayakan agar Geopark seluas lebih dari 8000 ha itu menjadi salah satu Geopark nasional dan akan disusulkan ke UNESCO sebagai warisan dunia. Konon pemerintah Pemkab Sukabumi dan Jawa Barat bulan November nanti akan mencanangkan gerakan Geopark Nasional bertempat di lokasi Curug Cimarinjung ini.
Malamnya kami kembali diberikan materi teori yang diselingi dengan acara kuis. Peserta yang bisa menjawab pertanyaan dengan benar akan mendapatkan hadiah berupa t-shirt Expedisi Cartenz saat perayaan peringatan hari kemerdekaan RI ke 70 yang lalu. Seperti yang sudah aku info di awal bahwa team Summit Cartenz Agustus lalu dimotori oleh para instruktur di SPTMP bersama dengan punggawanya, Kang Tedi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H