Sabtu 4 Mei 2019, di awal bulan menjelang masuk bulan  Ramadan saya berkesempatan bertemu dan berbicara langsung dengan salah satu ekonom kondang Faisal Basri dalam Seminar Nasional Yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiwa Program Studi Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam Institut Agama Islam Negeri Pontianak bekerjasama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Kalimantan Barat.
Sosok beliau sebenarnya sudah sering saya temui di beberapa seminar , sejak tahun 2015 lalu, tapi baru di tahun 2019 barulah  saya berkesempatan berbicara langsung untuk mencerna pemikiran beliau yang juga sering menulis isu-isu ekonomi actual di kompasiana.
Yang jelas Pak Faisal yang saya kenal adalah ekonom yang tawadhu, rendah hati, kalem dan tenang dalam menjelaskan berbagai persoalan ekonomi bangsa ini.Â
Beliau juga salah satu ekonom yang aktif berpolitik praktis yang santun, Sebagai salah satu pendiri Majelis Amanat Rakyat yang merupakan cikal bakal Partai Amanat Nasional, pernah mengikuti penjaringan calon kepala Daerah melalui Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan maju dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta Tahun 2012 bersama BIEM Benyamin. Nama beliau cukup diperhitungkan di tingkat nasional untuk urusan analisis ekonomi.
Dalam seminar tersebut saya sempat bertanya kepada Pak Faisal tentang bagaimana pendapat beliau dengan adanya Revolusi Industri 4.0 terkait dengan digitalisasi ekonomi yang mengakibatkan Disrupsi atau perubahan pola yang mengganggu perubahan sistem pasar sebagaimana sering dikemukakan Prof. Rhenald Kasali Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia dimana adanya Digitalisasi ekonomi telah merubah rantai pasar dimana jika dalam ekonomi konvensional , dimana seorang produsen untuk menjual produk atau menawarkan jasa dia harus melalui distributor besar, distributor kecil, agen pengecer baru ke tangan konsumen.Â
Tetapi dengan adanya digitalisasi ekonomi seorang produsen bisa langsung menjual barang dan jasa ke konsumen langsung tanpa perlu pedagang perantara sehingga menyebabkan adanya perubahan pasar yang menyebabkan lesunya perdagangan retail.
Hal ini saya lihat sendiri dari mengeluhnya para pedagang-pedagang eceran dimana omzet mereka turun dalam beberapa tahun terakhir , dimana di musim puasa atau menjelang lebaran seharusnya terjadi lonjakan pembeli tapi ternyata jumlah pembeli malah berkurang. Sebaliknya di pasar online atau market online dimana semua produsen dapat menjual langsung ke konsumen dengan harga bersaing justru mengalami lonjakan. Â
Di berita media massa juga kita lihat bahwa beberapa retail modern seperti matahari mengurangi jumlah karyawan, Mall mulai sepi pembeli yang berbelanja secara tunai ,yang banyak malah yang selfie dan window shopping , bahkan Supermarket Hero telah menutup beberapa gerainya. Dan menariknya retail kecil tapi gesit dan bermodal besar seperti Alfamart dan Indomaret justru menjamur.
Akankah revolusi industri menyebabkan pengangguran baru ? Dan menurut Pak Faisal ternyata tidak juga menurutnya justru adanya revolusi industri akan menyebabkan ekonomi perdagangan lebih efesien, menghindari monopoli dan menimbulkan profesi baru yang tidak terpikir sebelumnya.
Beliau mengambil contoh kasus pada PT Jasa Marga selaku pengelola jalan tol di Jabodetabek, dimana sejak dicanangkannya kebijakan transaksi elektronik, atau sistem non tunai maka pekerjaan penjaga gerbang jalan tol tidak diperlukan lagi , apakah penjaga gerbang tol yang jumlahnya ratusan orang itu di PHK ? ternyata tidak , PT Jasa Marga Tbk, telah menyiapkan antisipasi, khususnya terkait strategi untuk kelanjutan pekerjaan karyawannya yang bertugas di gerbang tol.
Untuk solusi itu, Jasa Marga menyiapkan program A-Life (Alih Profesi) kepada karyawan-karyawan yang terkena dampak dari kebijakan elektronifikasi ini. Â Program ini disebut bertujuan untuk memberi kesempatan kepada karyawan dalam mengembangkan dan menambah pengalaman baru sesuai dengan kemampuan dan minat Karyawan.Â