Kerusakan lingkungan di Indonesia saat ini sudah sering kali terjadi. Berawal dari perubahan lingkungan hidup oleh manusia dan segala aktivitas yang ada didalamnya. Kerusakan lingkungan dapat terjadi karena manusia tidak menempatkan dirinya sebagai bagian dari alam. Kesalahan cara pandang berawal dari aliran antroposentrisme yang menganggap manusia sebagai pengatur alam atau lingkungan hidup. Manusia berpandangan bahwa alam diciptakan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan yang tidak ada hubungannya dengan manusia.
Salah satu kerusakan lingkungan disebabkan adanya alihfungsi kawasan hutan menjadi kawasan pertambangan untuk pemenuhan energi, yakni batu bara. Energi yang tidak terbarukan ini masih menjadi primadona bagi Indonesia, terlebih dengan komitmen pemimpin Indonesia saat ini yang ingin membangun pembangkit listrik 35000 MW yang juga didominasi batu bara. Sedangkan cadangan batu bara sudah semakin menipis karena penggunaannya semakin membengkak dan kemungkinan akan habis 5 – 10 tahun kedepan. Dalam lima tahun ke depan, konsumsi batu bara untuk pembangkit listrik diperkirakan mencapai 280 juta ton. Angka tersebut belum termasuk untuk konsumsi megaproyek ambisi Presiden Joko Widodo ini.
Implementasi ambisi 35000MW dengan membuat sejumlah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), pembangkit listrik tenaga gas dan uap (PLTGU) dan pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) di sejumlah wilayah, yakni PLTU Cilacap (600 MW) Jawa Tengah, PLTU Batang (2 x 1000 MW) Jawa Tengah, PLTU Punagaya (2 x 100MW) Sulawesi Selatan, PLTU Jenepento (2 x 135 MW), PLTGU Jawa 2 Tanjung Priok (2 x 300 MW), PLTB Sidrap (75 MW) Sulawesi Selatan dan lain-lain.
Pembangkit listrik tenaga uap juga ditemukan beroperasi di wilayah pulau kecil dan pesisir, dimana sudah melanggar peraturan yang sudah berlaku yakni pulau dengan luas kurang dari atau sama dengan 2000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya tidak boleh ada aktivitas penambangan. Karena pulau kecil memiliki sumber daya yang mampu menunjang kebutuhan pangan nasional. Selain itu juga berpotensi menjadi objek pariwisata, pemanfaatan karang bagi masyarakat di daerah.
Alih – alih sebagai energi murah bagi Indonesia, karena mereka (pengusaha maupun pemerintah) tidak memasukkan nilai konservasi ekologis, dampak ekologis yang diterima masyarakat terdampak, dan biodiversitas yang terancam akibat pertambangan tersebut. Menurut Koordinator Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara Arif Fiyanto, mengatakan angka kerugian berasal biaya pemulihan lingkungan serta dampak kesehatan ketika penggunaan batubara terus bertambah. "Pembangunan PLTU jelas meningkatkan emisi dan polusi yang berdampak pada kesehatan, khususnya masyarakat sekitar PLTU," ujar Arif dalam pemaparannya di Jakarta, Rabu (21/9).
Polusi udara dari emisi yang dihasilkan PLTU, kata Arif, meningkatkan risiko penyakit serius seperti kanker paru-paru, stroke, jantung, dan penyakit pernafasan kronis lainnya. Dia menuturkan nilai kerugian itu lebih tinggi dari alokasi kesehatan APBN 2016 yang mencapai Rp110 triliun.
Kerugian tersebut sebagian besar ditanggung oleh negara dan akan terus meningkat seiring banyaknya nya PLTU yang sudah beroperasi di Indonesia. Perubahan iklim dan suhu panas bumi yang semakin terasa, memberikan dampak negatif bagi kita tak lepas dari kontribusi penggunaan batu bara sebagai bahan utama penghasil energi listrik. Sampai kapan kita terjebak dari energi kotor ini?. Apakah kita kita tidak mampu berpindah kepada energi terbarukan? Kenyataan ini justru berbeda dengan komitmen pemerintah pada kesepakatan Paris (Paris Agreement) tahun 2015 untuk menurunkan 29 persen dibawah ambang batas hingga tahun 2030. Selain itu, Indonesia juga memiliki target hingga 23 persen dari konsumsi energi nasional hingga tahun 2025.
Sampai tahun 2018, Energi Baru Terbarukan (EBT) Indonesia mencapai 12 persen. Menurut tim Percepatan Pengembangan Energi Baru Terbarukan bahwa Indonesia membutuhkan dana Rp. 1,600 triliun untuk mencapai 23 persen EBT. Untuk mencapai angka 23 persen penggunaan EBT dari total energi kebutuhan nasional, skema pendanaan perlu direncanakan dengan matang. Salah satunya adalah pendanaan yang disalurkan dari alokasi dana Kementrian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), dana pengembangan EBT di PLN, investasi melalui KPBU (Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha) dengan Independent Power Producer dan investasi melalui skema APBD (Dana Alokasi Khusus atau DAK).
Potensi penggunaan EBT di tiap-tiap wilayah berbeda sesuai tiap letak geografisnya. Wilayah yang memiliki suhu cuaca cukup tinggi seperti Karawang, Bekasi lebih cocok untuk mencoba menggunakan energi solar panel (energi berasal dari cahaya matahari). Begitu pun daerah yang memiliki potensi arus air yang deras dan stabil, ketersediaan panas bumi dan kecepatan angin diatas rata-rata wilayah lainnya.
Menurut wakil mentri ESDM Wamen Arcandra, “Indonesia memiliki potensi 11 Giga Watt (GW) dari energi panas bumi dan baru terealisasi 1,9 GW atau 0,44%. Sedangkan energi air, Indonesia memiliki potensi 75 GW dan baru terealisasi 5,12 GW atau 1,21% dari potensinya. Juga potensi energi surya Indonesia mencapai 207 GWp dan baru terealisasi 0,09 GW atau 0,02%.”
Kepentingan bersama untuk mewujudkan energi yang ramah lingkungan bagi masyarakat Indonesia bukan tidak mungkin akan mencapai target sesuai dengan yang dicanangkan pemerintah. Dengan total pencapaian Anggaran Pendapatan Biaya Negara (APBN) 2019 mencapai 59,3 trilyun rupiah dan akan terus meningkat setiap tahunnya sudah saatnya lebih mengedepankan penggunaan EBT di negeri ini. Kita selaku masyarakat Indonesia secara bersama-sama mendukung dan mengawasi seluruh proses berkaitan peralihan penggunaan energi fosil ke EBT. Gerakan Climate Action dari masyarakat tingkat tapak hingga pemangku kekuasaan harus dilakukan. Energi terbarukan yang diimpikan bersama menuju kualitas udara, air, dan lainnya menjadi lebih baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H