Indonesia terletak pada ring of fire, dimana masyarakat yang berada disekitarnya berada cemas akan bencana yang setiap waktu menghantui. Ring of fire merupakan kawasan dimana dikelilingi gunung merapi yang sewaktu-waktu akan aktif dan menimbulkan bencana lain, salah satunya adalah gempa bumi.Â
Gempa bumi dapat ditandai dengan adanya pergerakan kerak bumi di suatu wilayah yang berakibat adanya tanah longsor dan dampak lainnya. Oleh sebab itu, mitigasi bencana perlu dilakukan masyarakat Indonesia.
Mitigasi bencana dapat dilakukan oleh masyarakat dengan berbagai cara, baik secara sosial, kearifan lokal dan lainnya. Namun fokus dalam tulisan ini bagaimana kearifan lokal menciptakan mitigasi bencana secara mandiri melalui arsitektur bangunan, khususnya yang terjadi pada suku Baduy.
Kearifan lokal memilki arti sebagai upaya pelestarian sumber daya alam dan manusia,serta sebagai upaya mempertahankan hak ulayat. Dalam hal ini, khususnya adat Baduy. Sedangkan mitigasi bencana yakni upaya dalam meminimalisir terjadinya bencana di suatu daerah. Kondisi masyarakat Baduy pada umumnya tinggal di daerah perbukitan di daerah Lebak, Banten. Oleh karena itu penentuan lokasi untuk pembuatan rumah adat mengikuti tinggi rendahnya tanah.Â
Dalam aktivitas sehari-hari, masyarakat Baduy tak terlepas dari hukum adat yang berlaku. Hukum yang disepakati bersama dan terus berjalan seiring bergulirnya waktu. Namun, apakah kalian tau bahwa dari hukum adat melahirkan kearifan lokal yang berdampak pada kesadaran melindungi lingkungan? Hal ini dapat kita jumpai pada arsitektur bangunan masyarakat Baduy itu sendiri.
Kondisi geografi di permukaan yang tidak datar atau melereng landai membuat masyarakat Baduy memiliki keunikan tersendiri dalam pemilihan tapak sebagai pondasi awal pembuatan rumah adat. Pemilihan tapak menjadi krusial sebab masyarakat Baduy tidak boleh sembarangan memilih lokasi untuk lahan rumah adat mereka. Selain itu, jarak yang tidak terlalu jauh dari sungai mempermudah masyarakat Baduy dalam menangani permasalahan drainase yang dapat kering dikemudian hari dan juga untuk kebutuhan keseharian.
Penggunaan air sungai juga ditentukan pada jenis kegiatan sebab ada larangan untuk membuang dan menggunakan bahan-bahan asing ke sungai seperti dilarangnya penggunaan detergen, pasta gigi untuk memastikan sungai tetap tidak tercemari oleh adanya kegiatan masyarakat permukiman tersebut.Â
Penentuan tapak sebagai pembuatan rumah adat Baduy dan akses pada masing-masing kampung Baduy dapat dilihat dari tumpukan susunan batu-batu kali yang teratur dan sebagai penahan agar tanah tetap kokoh. Bangunan berupa rumah panggung dapat dijumpai saat Anda mengunjungi adat Baduy. Arsitektur rumah adat disana didominasi tumpuan kolom-kolom kayu rumah. Terlintas tidak ada material keras seperti pasir, semen dan lainnya. Kondisi ini secara tidak langsung mendukung adanya Green Building.
Terdapat pembagian ruangan pada rumah tradisional masyarakat Baduy menjadi tiga ruangan terpisah, dimana pada setiap ruangan dapat digunakan untuk berbagai macam kegiatan.Setiap ruangan menjadi efisien didukung dengan tidak banyaknya perabotan yang dimiliki masyarakat Baduy dan hanya terlihat tumpukan tikar dan keperluan tidur. Secara keseluruhan luas bangunan relatif kecil sehingga dapat digunakan secara optimal.
Material yang digunakan dalam pembuatan rumah adat yakni kayu Cendana atau Jati dan Bambu. Eksplorasi terhadap bambu lantaran melimpahnya bambu yang terdapat dikawasan adat Baduy. Bambu dipilih karena sifatnya yang kuat dan pertumbuhan yang cepat serta mudah dalam pemeliharaanya.Â
Bambu dimanfaatkan sebagai pembuatan dinding dan lantai. Dinding menggunakan anyaman bambu dengan bermacam variasi anyaman. Bagi penghuni ruang, pemakaian material dan konstruksinya menjamin ruangan tetap teraliri udara dari celah-celah anyaman dinding bambu.Â