Mohon tunggu...
Rahmat Drajat
Rahmat Drajat Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa / IAIN Langsa

Saya merupakan seorang mahasiswa dari Institut Agama Islam Negeri Langsa.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Interpretasi Makna Al-Wasath QS Al-Baqarah Ayat 143 (Ma'na Cum Mahza)

22 November 2024   16:14 Diperbarui: 22 November 2024   17:17 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Interpretasi Makna Al-Wasath QS Al-Baqarah Ayat 143  (Teori Ma'na Cum Maghza)

Rahmat Drajat

            Peran Al-Qur'an terhadap kehidupan umat manusia sangatlah utama. Segala hal aspek berkehidupan didalam dunia ini diatur oleh Al-Qur'an, dari hubungan sang khaliq dengan  makhluq dan hubungan makhluq dengan makhluq, baik seiman dengan yang tidak seiman. Konsep wasathiyah merupakan hal menjadi perbincangan hangat juga tidak luput dari pembahasannya dalam Al-Qur'an. Didalam surah Al-Baqarah ayat 143 dengan jelas menyebut kata al-Wasath, yang merupakan dasar dari pembahasan wasathiyah. Tulisan ini bermaksud untuk menginterpretasi makna al-Wasath pada surah Al-Baqarah ayat 143 dengan menggunakan teori Ma'na Cum Maghza guna mendapati pemahaman yang komprehensif.

            Teori Ma'na Cum Maghza adalah teori yang dikembangkan oleh Prof. Sahiron Syamsuddin yang diadopsi dari hermenutika Abu Zayd Nashr Hamid, yang menggunakan pendekatan linguistik-historis. Secara garis besar, teori ini memiliki 3 langkah penafsiran utama yaitu, mencari al-Ma'na al-Tarikhy (Makna Historis), al-Maghza al-Tarikhy (signifikansi fenomenal historis), dan al-Maghza al-Mutaharrik al-Mu'assir (Signifikansi fenomenal kekinian).

            Banyak pandangan terkait dengan makna al-wasath, sebagaimana Wahbah Az-Zuhayli berpendapat bahwa al-wasath merupakan posisi tengah atau sebagai poin penting, al-Raghib mengartikan sebagai tengah diantara dua ujung yang posisinya sama, al-Alusi mengartikan sebagai yang dipilih dan sama berat, para mufassir dari kalangan kemenag RI mengartikan sebagai golongan tengah, yang bermakna kelompok yang berlaku seimbang terkait urusan dunia dan akhirat, Yusuf al-Qaradhawi menjelaskan bersumber dari Al-Qur'an, bahwa al-wasath mempunyai arti sepadan dengan kata tawazun (seimbang), Abdullah Yusuf Ali memaknainya dengan justly balance, hal ini dilandaskan pada hakikat agama Islam yatu menghapus berbagai perilaku ekstrim terutama dalam hal-hal yang radikal dan liberal, masih banyak lagi pandangan-pandangan para ahli yang keseluruhannya mengartikan bahwa al-wasath adalah berkeseimbangan.

Aplikasi Ma'na Cum Maghza Terhadap "Al-Wasath" dalam QS Al-Baqarah 143

Arti :

"Demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) umat pertengahan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Nabi Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menetapkan kiblat (Baitulmaqdis) yang (dahulu) kamu berkiblat kepadanya, kecuali agar Kami mengetahui (dalam kenyataan) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sesungguhnya (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia."

  • Al-Ma'na al-Tarikhy (Makna Historis)

Dalam mencari makna dalam surah al-Baqarah 143, dapat dilakukan dengan beberapa langkah yaitu

  • Analisis Linguistik

Lafadz al-Wasath didefinisikan dengan dua pemaknaan yaitu wasath dalam bahasa adalah sesuatu yang ada di tengah, sesuatu yang dibelah menjadi dua yang ujungnya seukuran. Berdasarkan makna terminologi bahasa, kata wasath diartikan dengan nilai nilai islam yang dibangun dengan dasar pola pikir yang lurus dan pertengahan, yaitu tidak berlebihan dalam hal tertentu.

  • Analisis Intratekstual

Al-wasath disebut sebanyak lima kali yaitu dala QS. Al-Baqarah : 143, QS Al-Baqarah : 238, QS. Al-Maidah : 89, QS. Al-Qalam : 28, dan Qs. Al-Adiyat : 5. Keseluruhan pengulangan kata wasath itu merujuk makna pertengahan. Dan dilihat dari konteks ayat menujuki membicarakan masyarakat yaitu pada surah Al-Baqarah 143.

  • Analisis Intertekstual

Dalam sebuah riwayat dalam tafsir At-Thabari surah Al-Baqarah 143 , disana mengartikan makna wasathan dengan adil.

  • Konteks Historis

Untuk melihat kontek histori ini dilakukan dengan dua cara, yaitu melihat historis mikro dan historis makro. Berdasarkan Asbabun Nuzul dari surah Al-Baqarah 142-144 Imam As-Suyuthi menjelaskan : "Ibnu Ishaq berkata Ismail bin Khalid bercerita kepadaku dari Abi Ishaq dai Al[1]Bara' berkata, "Adalah Rasulullah melaksanakan shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis, dan ia sering menengadahkan pandangannya ke langit menunggu perintah Allah, maka Allah menurunkan ayat Nya, "sesungguhnya kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit." Maka seorang pria dri kaum Muslim berkata, "keinginan kami adalah jika saja kami dapat mengetahui siapa saja akan meninggal dari kami sebelum kami menghadap kiblat (ka'bah), dan bagaimana dengan shalat kami ketika menghadap ke arah Baitul Maqdis," maka Allah menurunkan firman-Nya, QS Al-Baqarah : 143 "dan Allah tidak menyia-nyiakan imanmu". Orang orang bodoh berkata, "apa yang membuat mereka membelot dari kiblat mereka yang sebelumnya mereka berkiblat kepadan ya?" maka Allah menurunkan ayat Nya, QS Al-Baqarah : 142 "orang orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata: "apakah yang memalingkan mereka (umat islam) dari kiblatnya (baitul maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" hingga akhir ayat."

Konteks historis makro yaitu dengan melihat kondisi sosial masyarakat madinah saat ayat ini sangat majemuk dan beragam. Sehingga, pemindahan kiblat memberi pengaruh dengan munculnya pro dan kontra dalam masyarakat, dimana sebagian masyarakat yang panik dengan amalan amalan orang terdahulu yang meninggal, sebelum peristiwa pemindahan kiblat. Namun ada juga golongan yahudi yang mencap Nabi SAW sebagai orang yang tidak memiliki pendirian ketika memindahkan kiblat. Mereka disebut sebagai orang orang bodoh, lebih, lebih tepatnya orang orang yahudi saat itu. Mereka yang menjadi musuh Islam memanfaatkan situasi ini untuk mengadu domba kaum muslimin saat itu. Mereka memprovokasi bahwa pemindahan kiblat tersebut dilandasi oleh motivasi rasis. Mereka mengatakan bahwa nabi SAW menetapkan kiblat ke arah baitul maqdis untuk menarik minat ahli kitab. Kemudian Nabi SAW, dianggap putus asa sehingga beliau mengubahnya ke arah baitul haram. Hal ini jelas menimbulkan kebingungan dan kegelisahan dikalangan masyarakat yang belum mengerti bagaimana harus bertindak saat itu. Keimanan mereka masih keruh dengan fanatisme yang terlalu ekstrim, atau bahkan ada yang masih musyrik.

  • Al-Maghza At-Tarikhi (Signifikansi Historis)

Melalui ayat tersebut dengan menegaskan posisi umat Islam sebagai "Wasathan" dalam pengubahan arah kiblat. Allah ingin menjelaskan kehendakNya untuk menetapkan umat Islam sebagai umat pilihan umat pertengahan. Umat yang kelak akan ber saksi ketika hari kiamat untuk umat selainnya, karena seluruh umat megakui keutamaan kalian. Maka dalam konteks historis tersebut kalimat "Wasathan" di tujukan dengan makna sebagai umat pilihan terbaik yang akan menjadi contoh umat lainnya.

  • Al-Maghza Al-Muharrik Al-Mu'assir ( Signifikansi Dinamis Kontemporer)

Pada tahap pengkajian Signifikansi dinamis kontemporer (Al-Maghza Al[1]Mutaharrik Al-Mu'assir) QS Al-Baqarah : 143 hasil dapat di analisis dari proses kontekstualisasi signifikansi historis. Dalam hal ini pada konteks kontemporer di Indonesia pada saat ini yang berhubungan dengan masalah Islam Moderat atau Moderasi beragama, ditemukan keberagaman dalam bermasyarakat merupakan sebuah keniscayaan yang sudah pasti ada dan berlangsung selamanya. Indonesia menjadi negara dengan berbagai suku, adat, kebudayaan dan agama. sehingga membutuhkan upaya dalam mewujudkan sebuah kerukunan dalam bermasyarakat. "Wasath" juga diartikan dengan terbaik dan paling sempurna. Sebagaimana dikatakan bahwa sebaik baiknya persoalan ialah pertengahannya. Dimana setiap umat harus berusaha untuk bersikap dengan sebaiknya sebagaimana yang di ajarkan dalam agama. maka ketika hal ini diusahakan akan jauh dari terjadinya sebuah konflik yang mana tentunya konflik sangat jauh dari kata "baik".

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun