Mohon tunggu...
Rahmad Alam
Rahmad Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa psikologi UST, suka menulis dan rebahan.

Seorang mahasiswa fakultas psikologi universitas sarjanawiyata tamansiswa yogyakarta yang punya prinsip bahwa pemikiran harus disebarkan kepada orang lain dan tidak boleh disimpan sendiri walaupun pemikiran itu goblok dan naif sekalipun.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Merasakan Kafkaesque Ketika Memiliki Jabatan Tinggi: Alienasi & Birokrasi

19 Januari 2025   02:22 Diperbarui: 19 Januari 2025   02:22 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kondisi Kafkaesque. Sumber: ciptaan AI dari Deep.AI

Pernahkah Anda merasa terjebak dalam situasi yang tidak masuk akal, seolah sistem di sekitar Anda melawan? Itulah esensi Kafkaesque, sebuah konsep yang tak hanya relevan dalam sastra, tetapi juga dalam kehidupan modern.

Kafkaesque secara ringkas adalah sebuah kondisi aneh, tidak wajar, dan kompleks terkait kekuatan asing yang membelenggu kita. Kekuatan yang entah darimana datangnya ini tidak bisa kita kalahkan dan kita terisolasi dengan dunia di luar kita. 

Pada wajarnya kebanyakan orang biasa yang tidak punya kekuatan yang sering mengalaminya, atau secara kasarnya para orang tanpa pangkat dan jabatan. Walaupun begitu kadang orang yang memiliki jabatan tinggi dan juga terpandang dapat juga merasakannya.

Sebetulnya saya menuliskan ini terkait pengalaman pribadi yang pernah menjabat dalam lembaga organisasi mahasiswa (Ormawa) tingkat universitas kampus saya. Dengan membawa pengharapan untuk mengubah kehidupan mahasiswa di kampus saya terutama terkait administrasi kelembagaan Ormawa, tapi pada kenyataannya saya malah terkungkung dengan sistem birokrasi lama yang tidak bisa kami ubah.

Perasaan yang tidak mampu serta kehidupan Ormawa yang membelenggu saya dengan mengorbankan ketenangan serta kelancaran akademik saya (karena ya sekarang saya sedang mengerjakan skripsi dan hal ini agak sedikit menghambat), membuat saya jengkel walaupun saya tidak tahu harus jengkel ke siapa selain kepada diri sendiri.

Namun sebelum itu lebih baik kita berkenalan terlebih dahulu dengan istilah kafkaesque (diucapkan: kaf-ka-es), sebuah istilah psikologis yang datang dan diambil dari karya-karya Franz Kafka.

Apa itu Kafkaesque?    

Istilah Kafkaesque sendiri sebenarnya berasal dari karya-karya Franz Kafka, penulis asal Praha, Republik Ceko saat ini. Karya-karya Kafka memiliki nuansa yang terkesan sangat murung dan banyak menceritakan tokoh-tokohnya dalam keterasingan psikologis, ketidakberdayaan, serta tentu saja jarang memiliki ending yang bahagia.

Namun, novel-novel karya Kafka banyak mengilhami dunia sastra seperti karya-karya George Orwell, Haruki Murakami, Salman Rushdie, dan masih banyak lagi. Tak hanya di dunia sastra, pada bidang filsafat sebut saja pemikiran eksistensialisme dari Jean-Paul Sartre dan Albert Camus merupakan sedikit dari banyak penulis dan filsuf yang secara tidak langsung terilhami oleh karya-karya Kafka.

Cover novel Meetamorfosis karya Franz Kafka. Sumber: Dokumen pribadi.
Cover novel Meetamorfosis karya Franz Kafka. Sumber: Dokumen pribadi.

Nah kembali ke istilah Kafkaesque, karya yang paling banyak dibahas sehingga munculnya istilah ini adalah dua karya Kafka yakni Metamorphosis dan The Trial. 

Pada cerita Metamorphosis, tokoh bernama Gregor Samsa terbangun dan mendapati dirinya menjadi seekor kecoa raksasa tanpa penjelasan apapun hingga akhir cerita. Sedangkan dalam cerita The Trial, tokoh Joseph K, seorang pegawai bank biasa ditangkap tanpa alasan yang jelas dan pengadilan tidak memberitahu kasus apa yang didakwakan kepadanya.

Kedua cerita Kafka tersebut secara gamblang menjelaskan arti Kafkaesque dimana kita ada di suatu kondisi yang sulit untuk dijelaskan, kita merasa terasing dari kehidupan kita sebelumnya walaupun kita berada di dekat orang-orang yang kita kenal, kita hendak melawan kekuatan asing yang merenggut kebebasan kita namun apa daya kita tidak mampu, pada akhirnya kita kehilangan eksistensi diri kita pada dunia.

Secara singkat, arti Kafkaesque adalah kondisi aneh, tidak wajar, dan kompleks yang membuat kita tidak berdaya kepada kekuatan asing yang sulit dijelaskan; terutama karena terjebak pada sistem yang terlalu birokratis, tidak masuk akal, dan tidak transparan.

Jabatan Tinggi Juga Rentan Terkena Kafkaesque

Ilustrasi keterasingan dalam jabatan tinggi. Sumber: ciptaan AI dari Deep.AI
Ilustrasi keterasingan dalam jabatan tinggi. Sumber: ciptaan AI dari Deep.AI

Memiliki jabatan tinggi kerap kali jadi sebuah mimpi banyak orang karena mungkin kekuasaan yang dipegangnya, namun kerap kali dari jabatan itulah muncul berbagai tanggung jawab dan ekspektasi yang tinggi dari banyak orang.

Kita merujuk kepada pemangku kebijakan yang berempati dan memahami tanggung jawab moral mereka, bukan kepada pihak yang hanya mengejar kekuasaan. Sejatinya semakin tinggi jabatan itu maka semakin besar beban moral yang dibawa, semakin besar pula tingkat stres yang dialami. Tapi yang lebih menjengkelkan adalah keterasingan karena sistem yang terlampau buruk dalam birokrasi.

Pengalaman saya saat aktif dalam organisasi mahasiswa tingkat universitas di kampus juga merasakan hal demikian. Terlalu sulit dan kompleksnya sistem birokrasi membuat diri saya terbawa pada kondisi yang tidak berdaya. Ekspektasi mahasiswa terhadap kinerja kami semakin mempertegas perasaan terjebak dalam sistem yang sulit dipahami..

Ada momen dimana saya seolah merasa sendiri dan berbeda dengan teman-teman saya, bukan pada artian positif tapi pada sebuah arti yang menjelaskan diri saya tidak mampu  dan kesepian di tengah keramaian. 

Banyak saya santai mengopi dan nongkrong bersama teman-teman tapi saya tidak merasakan bahwa saya "ada" dalam arti terdapat kekuatan asing yang tidak bisa saya jelaskan melempar saya ke sebuah jurang paling gelap.

Ya sebetulnya mungkin saya saja yang terlalu banyak membaca karya Kafka akhir-akhir ini hingga terbawa ke dunia nyata, semoga saja begitu. 

Dan saya sebenarnya tidak punya saran yang bagus untuk lepas dari kondisi Kafkaesque ini karena jujur saya tidak terlalu mengerti tentang apa yang terjadi pada diri saya seperti kutipan perkataan Gregor Samsa dalam novel Metamorphosis,

"Aku tidak bisa membuatmu mengerti, Aku tidak bisa membuat siapapun mengerti apa yang terjadi dalam diriku. Aku bahkan tidak bisa menjelaskannya pada diriku".

Simpulan

Lalu apa solusi atau sedikit pandangan positif  dari artikel ini, hanya ada satu hal. Saya hanya menikmati keterasingan dan alienasi ini sebagaimana itu takdir apa adanya. Fatum Brutum Amor Fati (Cintailah takdirmu walau itu kejam) kalau kata F. Nietzsche.

Kafkaesque mengajarkan kita untuk menerima absurditas hidup sebagai bagian dari perjalanan. Mungkin bukan solusi yang kita cari, tetapi pemahaman ini dapat membantu kita menjalani hidup dengan lebih damai.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun