Demonstrasi dan mahasiswa memang sudah tidak bisa dipisahkan layaknya politisi yang tidak bisa dipisahkan dari pencitraan. Mahasiswa dan demonstrasinya banyak merubah wajah indonesia seperti yang terjadi pada tahun 1966 guna meruntuhkan orde lama hingga tahun 1998 yang sukses membuat kekuasaan orde baru resmi berakhir.
'Mahasiswa adalah penyambung lidah rakyat" adalah semboyan yang sering digaungkan baik di UKM maupun HIMA fakultas jika ingin mengkaderisasi pengurus baru organisasinya.
Dengan itu mahasiswa dituntut untuk mengutarakan suara rakyat dengan kemampuan intelektual yang mereka miliki.
Namun kian hari demonstrasi menjadi suatu hal yang monoton dan banyak orang yang skeptis akan hal itu. Hal ini dikarenakan banyak orang yang menganggap demonstrasi adalah hal yang percuma jika suatu saat orang mereka duduk di kursi yang sama dengan mereka yang dahulu mereka demo, dan pada akhirnya mereka juga melakukan hal yang sama.
Kata "Mahasewa" banyak sekali kita dengar karena demonstrasi mahasiswa diisukan sedang ditunggangi oleh kepentingan politik pihak tertentu.Â
Beberapa sarjana yang realistis juga mengutarakan pendapat mereka bahwa demonstrasi tidak ada gunanya jika mereka nanti susah mencari kerja, lebih baik perbanyak magang dan relasi saja untuk memperindah CV.
Dinamika Kepribadian Mahasiswa dan Proses Sublimasi Mereka
Tahapan usia mahasiswa jika dilihat menurut teori perkembangan Erik Erikson mungkin berada pada tahap menjelang remaja akhir ke dewasa awal, antara 18-25 tahunan.Â
Diusia itu seseorang harus punya identitas diri yang kuat ditandai dengan passion atau perannya di masyarakat. Menjadi mahasiswa selain dituntut belajar juga ada citra bahwa mahasiswa merupakan seorang pelajar yang harus aktif di segala lini masyarakat.
Aktifitas yang dicitrakan luas ini seperti telah dijelaskan sebelumnya juga terkait sejarah Indonesia dimana ada peran mahasiswa disitu.
 Demonstrasi merupakan salah satu contoh dari luasnya citra aktifitas mahasiswa ini. Namun ada yang terpenting dari dinamika emosi mahasiswa yaitu dorongan yang besar akan ekspresi.
Iya mungkin kita tahu bahwa setiap tahapan manusia juga punya dorongan untuk mengekspresikan dirinya namun berbeda dengan mahasiswa.Â
Perbedaannya terletak pada berbagai emosi dan dorongan yang hadir karena masa akan menjadi orang dewasa.Â
Lingkungan yang menuntut diri untuk menjadikan diri sebagai dewasa ini melahirkan banyak keresahan dan juga kecemasan dalam diri mahasiswa.
Dalam teori psikoanalisis dari Sigmund Freud khususnya tentang pertahanan diri (defense mechanism), ada sublimasi yang merupakan cara meredakan kecemasan itu dengan menyalurkannya menjadi berbagai perilaku yang positif. Demonstrasi bisa menjadi cara untuk mensublimasi kecemasan mahasiswa.
Lalu apakah setiap mahasiswa perlu turun ke jalan dan berdemonstrasi? Ya itu tergantung dari cara kita mensublimasikan kecemasan kita, jika dengan demonstrasi ekspresi kita terpenuhi dan kecemasan kita reda ya lakukan.Â
Kalau saya dengan menulis saja sudah mengekspresikan diri saya dan kecemasan saya sudah tentu reda.
Hal-hal yang Harus Diperhatikan
Namun demonstrasi bukan berarti mengekspresikan diri secara membabi buta. Ada beberapa hal yang tentunya tidak bisa kita lakukan dalam berdemonstrasi seperti perilaku anarkis yang sering kita lihat ada pada satu-dua mahasiswa demonstran, hal ini membuat makna demonstrasi menjadi buruk.
Anarkisme adalah perilaku yang kita tahu pasti melanggar hukum dan oleh karena itu tidak perlu ada pada setiap demonstrasi.Â
Tidak apa-apa jika kita memenuhi story medsos kita dengan ikut menjadi demonstran namun jangan sampai anarkis. Tidak perlu malu disebut mahasiswa yang haus validasi karena memang kita memerlukannya.
Dan jika ada isu demonstrasi mahasiswa adalah sekelompok anak polos yang mudah ditunggangi kepentingan politik pihak tertentu ya memang kenapa jika dalam penuntutan atas ekspresi dan keresahan kita juga dibarengi dengan pihak lain.
 Jika itu salah ya tidak apa-apa toh kita mahasiswa dalam proses belajar dan dapat mempelajari lagi kesalahan itu dikemudian hari.
Simpulan
Â
Berdemonstrasi jika memang membuat diri kita berarti maka pantas kita lakukan. Mau itu ditunggangi kepetingan politik tertentu atau hanya haus validasi sembari memenuhi story ya memang kenapa toh mahasiswa ini bukan ditentukan dari bagaimana demonstrasi itu tapi dari cara mengekspresikannya diri kita dengan cara yang baik.
Jika anda mahasiswa yang tidak berdemo juga tidak masalah asal kita mampu mengekspresikan diri kita dengan baik dan meredakan kecemasan-kecemasan kita. Saya jadi ingat kata Freud yaitu :
"dorongan (emosi, ekspresi diri, dan lainnya) yang ditahan akan terus tertimbun menjadi besar dan di suatu kesempatan akan mencari jalan yang paling merusak"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H