Walaupun begitu ini semua hanya analisis saya pribadi sebagai mahasiswa psikologi dan juga tingkatannya masih sebuah hipotesis dimana dapat salah atau benar sebelum dilakukan sebuah penelitian lebih lanjut.Â
Jadi boleh sekali para pembaca dan kompasioners yang lain untuk menyanggah pendapat saya ini.
Bagaimana Sikap Kita Terhadap Konten Zavilda Demi Menjaga Toleransi
Jika kita melihat dari bagaimana Zavilda menggaungkan kata toleransi di salah satu kontennya yang memaksa wanita nonmuslim untuk berhijab jelas salah dan juga hal tersebut mungkin bisa dikatakan intoleransi karena pemaksaannya. Dan kita sepakat bahwa itu merupakan tindakan yang represif terhadap kepercayaan seseorang.
Namun yang jadi kesalahan yang patut diperhatikan juga adalah jika kita ikut menggeneralisir orang-orang yang berpenampilan sama seperti Zavilda sebagai orang yang intoleran juga.Â
Dan perhatian utama kita jelas perilakunya bukan atribut agama yang dipakai. Hal tersebut akan membuat stereotipe baru yang tentu saja akan melahirkan intoleransi kepada beberapa orang yang diduga intoleransi.
Hal ini akan menjadi paradoks atau lingkaran setan dari kata toleransi. Seperti yang Rocky Gerung katakan bahwa toleransi itu letaknya di perilaku sosial.
Yang lebih jelasnya perilaku yang memaksa orang untuk mengikuti atribut keagamaan, kesukuan, dan politik tertentu dengan menumpas habis hak orang tersebut.
Yah mungkin itu saja pendapat saya dari konten Zavilda dan bagaimana kita harus menyikapinya. Dan mungkin artikel saya ini berasal dari keresahan pribadi, juga sangat disayangkan tempat membuat konten itu dilakukan di Jogja, tempat saya berkuliah saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H