Mohon tunggu...
Rahmad Alam
Rahmad Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa psikologi UST, suka menulis dan rebahan.

Seorang mahasiswa fakultas psikologi universitas sarjanawiyata tamansiswa yogyakarta yang punya prinsip bahwa pemikiran harus disebarkan kepada orang lain dan tidak boleh disimpan sendiri walaupun pemikiran itu goblok dan naif sekalipun.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gelar Akademik Ternyata Tidak Menjamin Seseorang Berlaku Toleran dan Menghargai Sesama

20 Mei 2022   16:50 Diperbarui: 20 Mei 2022   17:21 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia memiliki lebih dari 1.340 suku yang tercatat Badan Pusat Statistik pada 2010. Dan juga 6 agama resmi yang diakui oleh negara yakni Islam, Kristen, Katolik, Konghucu, Hindu, dan Budha, serta aliran kepercayaan lokal yang telah mulai diterima baru-baru ini. 

Dengan berbagai macam keberagaman atas suku dan agama itu membuat kita tidak heran lagi di bawah lambang garuda Pancasila tercengkeram slogan "bhinneka tunggal ika ".


Namun realitas di masyarakat tidak seindah slogan tersebut. Banyak sekali perlakukan diskriminasi dan juga tindakan rasis yang dilakukan oleh masyarakat kita. 

Hingga saya saat itu memunculkan hipotesis bahwa tindakan-tindakan intoleran tersebut berasal dari kualitas sumber daya manusia kita yang rendah (karena kita tahu negara kita masih ber-flower) atau bisa jadi berasal dari pendidikan kita yang rendah dan tidak merata ini membuat kita tidak tahu cara menghargai sesama.


Hipotesis tersebut saya terus pikirkan hingga saya beranikan untuk bertanya dalam sebuah kelas Psikologi Sosial kala itu kepada dosen saya. Dan jawaban dari dosen saya tersebut sekaligus mematahkan hipotesis saya di awal. 

Saya ingat beliau berkata bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat SDM yang rendah dengan perilaku intoleransi. Karena selain telah membaca jurnal tentang hal tersebut, beliau juga melihat sendiri gurunya yang seorang doktor melontarkan beberapa pernyataan rasis di media sosial pribadinya.


Pernyataan ini lebih meyakinkan saya lagi ketika mendengar berita beberapa waktu lalu tentang seorang rektor ITK yang memberi pernyataan rasis di media sosialnya. Dan juga setahun yang lalu seorang guru besar USU juga melontarkan pernyataan rasisme pula namun hanya kelompok yang dituju yang berbeda. 

Perlu kita tahu bahwa seorang rektor atau guru besar pasti memiliki pendidikan tinggi yang menandakan kualitas SDM yang baik, namun ternyata amat disayangkan melontarkan pernyataan yang dinilai rasis tersebut.


Seseorang dapat melakukan perilaku toleran atau tidak, jika meminjam istilah dari Jean Piaget merupakan hasil dari Skema Kognitif yang dibangun. 

Skema kognitif sendiri merupakan pola pikir yang cenderung tetap dan menjadi dasar bagi seseorang untuk berperilaku. Skema kognitif berasal dari sebuah bentuk hasil dari interpretasi, pemahaman, penyimpulan dari segala bentuk informasi dari luar.


Sehingga masalah intoleran atau toleran ini bisa kita runut dari bagaimana seseorang bersikap. Sikap dalam psikologi sosial dibentuk dari tiga komponen utama yakni Kognitif (pola pikir), Afektif (perasaan), dan Konatif (kesiapan).

 Seorang yang melakukan tindakan rasisme pasti jika dilihat dari komponen kognitif memiliki pengetahuan stereotip, interpretasi dan opini yang buruk terhadap suatu kelompok. 

Dan dalam komponen afektifnya, dapat kita lihat perasaan tidak suka dapat dimiliki orang tersebut pada suatu kelompok. 

Sedangkan dalam komponen konatifnya, individu tersebut pasti dengan derajat yang lebih tinggi (dalam kasus ini gelar akademik) telah merasa siap menyatakan sikapnya dan merasa kelompok yang diberi sikap rasis tersebut tidak menjadi ancaman.


Pada akhirnya kita tahu bahwa sikap yang baik itu merupakan sebuah adab yang lebih sulit dibentuk daripada sebatas mendapat gelar pendidikan tinggi. Jelaslah pepatah arab yang berbunyi  "Al adabu fauqol 'ilmi", atau artinya adab lebih tinggi daripada ilmu. 

Ilmu seseorang yang sering direpresentasikan kepada tingkat pendidikan seseorang tidak jadi tolak ukur dalam memiliki sikap atau adab yang toleran kepada sesama.


Sikap yang buruk tadi pastinya berangkat dari stigma buruk dari kelompok yang disimpulkan demikian. Bisa jadi hal tersebut karena pengalaman buruk yang didapat dari kelompok tersebut dimasa lalu, namun juga hal tersebut karena opini subjektif kita semata yang "jarang" berinteraksi dengan mereka yang kita beri stereotip buruk. Sedikitnya interaksi yang pada mereka dapat membuat stereotip buruk tentang kelompok tersebut berkembang kearah perilaku rasisme.


Mengenai hal itu,  pepatah jawa yang berbunyi "witing tresno jalaran soko kulino"menjadi solusinya, atau biar lebih saintifik dari psikologi sosial juga punya Mere-exposure Effect yang punya makna sama. 

Yap, sikap yang baik dapat kita bentuk dari seberapa sering kita berinteraksi dengan kelompok atau suku yang sering distereotipkan negatif. Akhirnya pasti kita akan mendapat jawaban "Oh ternyata begini", atau "Ternyata ini alasan mereka melakukan hal itu".


Pastilah seseorang yang terang-terangan melakukan tindakan atau pernyataan rasis tersebut tidak punya teman dekat yang berasal dari kelompok yang diberi perlakuan rasis tersebut. 

Berteman dan menjalin silahturami dengan orang yang "berbeda" dengan kita mestinya dapat menghapus perilaku dan juga perasaan buruk yang ada di masyarakat kita.


Rasa kehangatan toleransi amat dapat kita rasakan bersama seperti saat lebaran kemarin saya diberi ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri oleh seorang teman saya yang seorang Nasrani.

 Hal yang membuat saya tersentuh dimana dia mau meluangkan waktunya demi memberi ucapan di hari penuh fitri bagi kami Umat Islam. Dan yang paling uniknya lagi dia yang pertama kali mengucapkan kata selamat lebaran pada hari itu dibanding teman-teman dan saudara saya yang seiman. Positif thinking saja mungkin saudara seiman saya ini sedang sibuk melahap opor dan ketupat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun