Mohon tunggu...
Rahmad Alam
Rahmad Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa psikologi UST, suka menulis dan rebahan.

Seorang mahasiswa fakultas psikologi universitas sarjanawiyata tamansiswa yogyakarta yang punya prinsip bahwa pemikiran harus disebarkan kepada orang lain dan tidak boleh disimpan sendiri walaupun pemikiran itu goblok dan naif sekalipun.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gelar Akademik Ternyata Tidak Menjamin Seseorang Berlaku Toleran dan Menghargai Sesama

20 Mei 2022   16:50 Diperbarui: 20 Mei 2022   17:21 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: pixabay.com


Sehingga masalah intoleran atau toleran ini bisa kita runut dari bagaimana seseorang bersikap. Sikap dalam psikologi sosial dibentuk dari tiga komponen utama yakni Kognitif (pola pikir), Afektif (perasaan), dan Konatif (kesiapan).

 Seorang yang melakukan tindakan rasisme pasti jika dilihat dari komponen kognitif memiliki pengetahuan stereotip, interpretasi dan opini yang buruk terhadap suatu kelompok. 

Dan dalam komponen afektifnya, dapat kita lihat perasaan tidak suka dapat dimiliki orang tersebut pada suatu kelompok. 

Sedangkan dalam komponen konatifnya, individu tersebut pasti dengan derajat yang lebih tinggi (dalam kasus ini gelar akademik) telah merasa siap menyatakan sikapnya dan merasa kelompok yang diberi sikap rasis tersebut tidak menjadi ancaman.


Pada akhirnya kita tahu bahwa sikap yang baik itu merupakan sebuah adab yang lebih sulit dibentuk daripada sebatas mendapat gelar pendidikan tinggi. Jelaslah pepatah arab yang berbunyi  "Al adabu fauqol 'ilmi", atau artinya adab lebih tinggi daripada ilmu. 

Ilmu seseorang yang sering direpresentasikan kepada tingkat pendidikan seseorang tidak jadi tolak ukur dalam memiliki sikap atau adab yang toleran kepada sesama.


Sikap yang buruk tadi pastinya berangkat dari stigma buruk dari kelompok yang disimpulkan demikian. Bisa jadi hal tersebut karena pengalaman buruk yang didapat dari kelompok tersebut dimasa lalu, namun juga hal tersebut karena opini subjektif kita semata yang "jarang" berinteraksi dengan mereka yang kita beri stereotip buruk. Sedikitnya interaksi yang pada mereka dapat membuat stereotip buruk tentang kelompok tersebut berkembang kearah perilaku rasisme.


Mengenai hal itu,  pepatah jawa yang berbunyi "witing tresno jalaran soko kulino"menjadi solusinya, atau biar lebih saintifik dari psikologi sosial juga punya Mere-exposure Effect yang punya makna sama. 

Yap, sikap yang baik dapat kita bentuk dari seberapa sering kita berinteraksi dengan kelompok atau suku yang sering distereotipkan negatif. Akhirnya pasti kita akan mendapat jawaban "Oh ternyata begini", atau "Ternyata ini alasan mereka melakukan hal itu".


Pastilah seseorang yang terang-terangan melakukan tindakan atau pernyataan rasis tersebut tidak punya teman dekat yang berasal dari kelompok yang diberi perlakuan rasis tersebut. 

Berteman dan menjalin silahturami dengan orang yang "berbeda" dengan kita mestinya dapat menghapus perilaku dan juga perasaan buruk yang ada di masyarakat kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun