Mohon tunggu...
Rahmad Alam
Rahmad Alam Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa psikologi UST, suka menulis dan rebahan.

Seorang mahasiswa fakultas psikologi universitas sarjanawiyata tamansiswa yogyakarta yang punya prinsip bahwa pemikiran harus disebarkan kepada orang lain dan tidak boleh disimpan sendiri walaupun pemikiran itu goblok dan naif sekalipun.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Reog Ponorogo dan Sindiran ke Pemerintah

21 April 2022   13:37 Diperbarui: 21 April 2022   13:50 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu dibuatlah sebuah pementasan dengan Barongan atau Singa yang kepalanya diduduki oleh seekor burung merak. Hal ini dibuat untuk menyindir Prabu Brawijaya yang tunduk atas keputusan dari istrinya yang berasal dari Campa. Menandakan pula raja yang perkasa malah tunduk pada kecantikan seorang wanita.

Menyindir Pemerintah Dulu dan Sekarang
Sepertinya jiwa untuk mengkritik pemerintah sudah ada sejak Republik ini berdiri. Dari asal muasal Reog Ponorogo ini yang telah digaungkan kembali karena isu klaim oleh Pemerintah Malaysia membuat kita paham bahwa masalah pemimpin dan rakyat sudah ada bahkan sejak zaman Prabu Brawijaya bucin dengan istrinya.


Jika sekarang kita banyak menggunakan media sosial untuk menyalurkan sindiran dan kritik kita bagi pemerintah, dahulu nenek moyang kita repot-repot mengangkat beratnya topeng Singo Barong dengan giginya untuk hanya sekedar mengkritik pemerintah. 

Sedangkan zaman sekarang dengan rebahan kita bisa kerahkan jari-jemari kita untuk men-tweet berisi sindiran atau kritikan atas kebijakan pemerintah yang tidak kita sukai.

Menyindir di media sosial maupun langsung turun ke jalan mungkin masih dianggap biasa saja oleh nenek moyang kita. Memang konflik masa feodal sebelum kemerdekaan amat sangat brutal namun juga di lain sisi elegan.

 Brutal karena banyak nyawa yang melayang demi suatu suksesi pemerintahan, namun juga elegan karena kadang memunculkan tradisi-tradisi unik seperti Reog ini.

Sebelum adanya demokrasi di Indonesia memang membuat sesiapapun yang punya kekuatan militer bisa senggol bacok dengan lawan politiknya. Baik itu rakyat maupun pemerintah dapat saling serang menggunakan panah dan parang demi mempertahankan atau menuntut kepentingannya. 

Masih mending kita hanya saling berbalas tweet dan kadang men-report akun lawan, mentok-mentok ya mungkin babak-belur seperti Ade Armando mungkin yang dikeroyok para haters-nya saat demo kemarin.

Kembali lagi ke Reog Ponorogo sebagai media sindiran membuat kita seharusnya tahu bahwa sebuah kritik tidak harus langsung menghujam dengan keras ataupun langsung dengan tindakan anarkis. Kritik juga mampu dibangun dengan elegan dan juga dapat bertahan lama hingga saat ini.

Walaupun terkadang kritik atau sindiran tidak didengar oleh yang duduk di kursi sana harusnya tidak membuat kita bertingkah agresif dan saling serang. 

Penyampaian kritik yang kreatif dan juga dengan bertahap membuat kita dapat dilihat sebagai seseorang yang elegan. Bermusik, membuat karya, atau konten kreatif lainnya dapat dijadikan sebuah sindiran juga saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun