Indonesia sudah tidak asing lagi akan keberagaman budayanya. Dalam keseharian kita, berbagai budaya tersebut mewarnai keindahan akan keberagaman dan toleransi.Â
Setelah era globalisasi ini, akulturasi antara berbagai budaya tidak terelakan lagi. Namun beberapa budaya baru kadang tidak diterima dengan baik.
Salah satu contohnya adalah budaya jamet yang akan saya bahas pada artikel ini. Jamet dalam pandangan umum kita mungkin akan terbayang seorang pemuda madura yang memiliki gaya rambut panjang dan tengahnya dibuat berdiri lalu berjoget dengan lagu remix yang terdengar agak norak.
Beberapa dari kita kadang menganggap Jamet ini sebagai sebuah subkultur yang muncul di Indonesia. Namun beberapa dari kita juga menganggap ini sebagai gaya yang norak dan juga kampungan, tak jarang juga kata "jamet" sendiri dijadikan kata hinaan bagi beberapa orang yang berpenampilan norak.
Sejarah Nama "Jamet" dan Ciri Khas Mereka
Jamet sendiri merupakan sebuah singkatan yang berasal dari kalimat "Jajal Metal" atau beberapa juga menyebutkan "Jawa Metal".Â
Terlepas dari kedua asal singkatan tersebut yang berlainan, kata tersebut merujuk kepada beberapa orang yang menggunakan aksesori metal yang tidak matching baik pada degradasi warna atau pada perawakannya.
Kadang juga akan ditambahkan kata "Kuproy" dengan kata jamet sehingga lengkap menjadi "Jamet Kuproy" yang dalam singkatannya Kuproy berarti "Kuli Proyek". Istilah itu merujuk pada penampilan para Jamet ini yang berkelas bawah dan mirip kuli proyek.
Pada perkembangannya lebih lanjut, gaya dan tren jamet sendiri banyak digunakan oleh para muda-mudi asal Madura.Â
Banyaknya pemuda yang mengikuti tren jamet ini membuat seolah-olah jamet menjadi suatu subkultur dari pulau di utara jawa timur sana, sama halnya seperti bahasa jaksel yang melekat pada muda-mudi jakarta selatan.
Secara lebih rinci lagi dalam dunia maya khususnya Tiktok, pemuda jamet terkadang digambarkan sebagai orang dengan penampilan norak khas metal yang berjoget dengan lagu remix seperti din ding pak ding ding atau ragu remix lainnya yang kita rasa sudah agak ketinggalan zaman.
Selain itu, dengan jogetannya yang khas dan mencolok seperti bertelanjang dada (bahkan beberapa ada yang berjoget diatas botol), mereka kadang mencantumkan hastag norak seperti Dani_Pria_Tampan_Mahal atau juga yang menunjukan komunitas seperti Persatuan_Pria_Mapan_Tampan_Beriman_Sampang.
Tak hanya itu, banyak efek dan juga tingkah polah dari para jamet ini yang kadang berlebihan seperti efek yang terlalu mencolok dan terkesan norak hingga pernah berjoget diatas galon air.
Dalam realita di kehidupan nyata, seorang jamet kedang dimaknai sebagai pemuda dengan gaya yang tidak selaras dengan muka dan sering berkumpul dengan sesama mereka yang dibarengi dengan mengekspresikan kenarsisan mereka.
Antara Simbol Penghinaan atau Menjadi Subkultur
Dalam hidup bersosial kita tak mungkin tidak mendapat feedback dari perilaku kita dan itu pula terjadi dengan tren Jamet itu sendiri.Â
Seperti kita ketahui diawal, tren Jamet yang kelewat norak ini terkadang menjadi sebuah sumber hinaan dan hujatan dari masyarakat. Gaya mereka yang menyakiti mata membuat kita merasa harus melontarkan suatu hinaan.
Banyak orang juga yang melabeli beberapa orang yang "sok ganteng" dan norak dengan kata Jamet ini, terlepas apakah dia yang dilabeli mengakui atau tidak menjadi seorang Jamet.
Namun terdapat pula beberapa netizen dan masyarakat yang menganggap gaya ini sebagai sebuah subkultur dan mulai menerimannya secara perlahan.Â
Bahkan beberapa waktu yang lalu terdapat tren di Tiktok yang meniru joget para jamet ini. Terdapat juga anak muda yang dengan sukarela mengikuti gaya berpakaian mereka walau tahu itu alay dan norak.
Jamet ini juga dimaknai bukan hanya pengekspresian diri namun juga sebagai simbol perlawanan terhadap Style yang ada.
 Karena kita tahu hanya orang yang berada saja yang dapat tampil trendy dan keren sedangkan orang kelas bawah tidak diperkenankan untuk bergaya sama sekali.
Dengan adanya gaya Jamet ini, dapat kita lihat sebuah dobrakan terhadap struktur sosial yang menggambarkan kebebasan gaya terhadap kelas bawah melalui gaya berpakaian dan penampilan yang mereka ciptakan sendiri.
 Tidak dengan barang-barang branded dan mahal, para Jamet seolah memberi pesan bahwa gaya dapat digunakan siapa saja.
Kesimpulan
Setiap orang memiliki kebebasan untuk bergaya selama gaya atau penampilannya tidak melanggar norma dan hukum yang berlaku.
 Mengekspresikan suatu bentuk isi hati melalui penampilan adalah sebuah hak yang membuat suatu kelompok atau individu tidak tertekan oleh masyarakat yang homogen.
Jamet ini dapat kita maknai sebagai suatu subkultur yang membentuk keberagaman yang tidak hanya dilihat melalui budaya tradisional saja tapi juga budaya modern serta popculture yang berkembang di Indonesia.Â
Juga jika kita merasa keren dengan budaya Jamet ini namun tidak berani menggunakannya karena malu dengan respon sekitar nantinya, apasalahnya mengikuti kata hati kita.
Sumber
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H