Selain itu, dengan jogetannya yang khas dan mencolok seperti bertelanjang dada (bahkan beberapa ada yang berjoget diatas botol), mereka kadang mencantumkan hastag norak seperti Dani_Pria_Tampan_Mahal atau juga yang menunjukan komunitas seperti Persatuan_Pria_Mapan_Tampan_Beriman_Sampang.
Tak hanya itu, banyak efek dan juga tingkah polah dari para jamet ini yang kadang berlebihan seperti efek yang terlalu mencolok dan terkesan norak hingga pernah berjoget diatas galon air.
Dalam realita di kehidupan nyata, seorang jamet kedang dimaknai sebagai pemuda dengan gaya yang tidak selaras dengan muka dan sering berkumpul dengan sesama mereka yang dibarengi dengan mengekspresikan kenarsisan mereka.
Antara Simbol Penghinaan atau Menjadi Subkultur
Dalam hidup bersosial kita tak mungkin tidak mendapat feedback dari perilaku kita dan itu pula terjadi dengan tren Jamet itu sendiri.Â
Seperti kita ketahui diawal, tren Jamet yang kelewat norak ini terkadang menjadi sebuah sumber hinaan dan hujatan dari masyarakat. Gaya mereka yang menyakiti mata membuat kita merasa harus melontarkan suatu hinaan.
Banyak orang juga yang melabeli beberapa orang yang "sok ganteng" dan norak dengan kata Jamet ini, terlepas apakah dia yang dilabeli mengakui atau tidak menjadi seorang Jamet.
Namun terdapat pula beberapa netizen dan masyarakat yang menganggap gaya ini sebagai sebuah subkultur dan mulai menerimannya secara perlahan.Â
Bahkan beberapa waktu yang lalu terdapat tren di Tiktok yang meniru joget para jamet ini. Terdapat juga anak muda yang dengan sukarela mengikuti gaya berpakaian mereka walau tahu itu alay dan norak.
Jamet ini juga dimaknai bukan hanya pengekspresian diri namun juga sebagai simbol perlawanan terhadap Style yang ada.
 Karena kita tahu hanya orang yang berada saja yang dapat tampil trendy dan keren sedangkan orang kelas bawah tidak diperkenankan untuk bergaya sama sekali.